Loading

Angin yang berhembus lembut, cukup untuk mendatangkan kesejukan. Terutama pada hati perempuan cantik bernama Anita yang tengah berjalan-jalan di sekitar hutan kecil di pinggir sungai. Seolah ingin ikut  serta, mata Anita berlarian mengejar angin yang tengah asik bermain dengan daun hijau di pepohonan. Serta nggak sengaja melihat  tupai berlarian di atas dahan, tampak gembira dan menikmati belaiyan lembut angin sepoi-sepoi. Anita mendengarkan dengan seksama suara burung yang beterbangan, sanagat menyenangkan katanya.

Aku hanya memperhatikannya dari belakang. Anak kota itu terlihat senang melihat hal yang menurutku jarang didapatkannya. Maklum di kota memang tidak ada sungai yang seperti ini. Sungai yang ada, tidak membawa ketanangan katanya. Sungai-sungai yang mengalir itu membawa amarah yang alirannya terlihat kotor dan banyak sampah. Berbeda sekali dengan sungai yang ada di desa kecilku ini.

Oh ya, perkenalkan namaku Dinda. Aku tinggal di desa mumpa. Desa kecil yang kental dengan nuansa keagamaannya. Hampir seluruh warga desaku muslim dan begitu juga denganku. Aku anak ke tiga dari empat bersaudara. Ayahku seorang juragan sapi perah. Dan ibuku seorang guru di sekolah dasar terdekat.

Anita, anak yang aku sebut-sebut tadi adalah anak dari adik ibuku. Lebih tepatnya sepupu. Dia tinggal di kota metropolitan. Dia adalah sepupu sekaligus teman kecilku. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Kira-kira setelah ultahku yang ke 16. Tepatnya, tahun lalu.

Karena libur kenaikan kelas, dia minta izin untuk berkunjung kerumahku. Dan itulah mengapa Anita berada didesaku sekarang. Ini tidak seperti biasanya, belum pernah dia datang ketika libur kenaikan kelas yang cukup panjang. Anita biasanya berkunjung menemuiku dua bulan sekali. Dan satu tahun ini tidak berkunjung karena menurutku Anita tengah asik dengan dunianya.

“Dinda, kau tahu? Kenapa libauran kali ini aku meminta ketempatmu?” tanyanya sambil membaringkan tubuhnya di atas reruputan liar yang menjalar. Tanpa dihiraukan rambutnya yang panjang dan lembut itu kotor terkena rerumputan kering.

“He, tidak. Memangnya kenapa?” balasku penasaran. Dahiku mengernyit heran. Menerawang jawaban dari pertanyaan yang belum sempat kuajukan saat dia tiba dirumahku semalam.

Anita tersenyum manis kepadaku, namun senyuman itu hanya sekilas. Dan membuatku dapat menerawang kenapa sepupu sekaligus teman kecilku ini lebih memilih berlibur kedesaku dari pada negara eropa yang dibanggakannya setiap kali chating di facebook.

Anita bangun dari tidurnya dan berkata, “Ada dua alasan. Yang pertama, aku kangen dengan desa yang damai ini, lama sekali aku tak berkunjung kemari. Aku kangen dengan semua yang ada disini.” Ujarnya sambil menatap sungai yang megalir tenang di depannya.

Aku pun mengangguk sambil menyetujui perkataannya barusan. Dia sudah dua belas bulanan tidak berkunjung. Setiap kali aku mengajaknya berkunjung ketempatku, dia berkata aku sudah ada janji dengan teman-teman kotanya itu. “Dan alasan yang ke-2 aku ingin curhat kepadamu, Dinda.” Ujarnya manja.

“Hmm, yalah. Kamu ini, kalau ada masalah baru datang kepadaku. Kalau tidak ada masalah, lupa dengan aku di desa…” jawabku dengan nada sedikit jengkel.

“Aku tidak lupa denganmu. Kita masih rajin chatingan, sms an, telphonan dan yang lainnya. Dan seperti biasa aku curhat ke kamu di sosial media. Dan sekarang aku ingin curhat langsung denganmu, Dinda.” Jelasnya padaku.

Aku hanya diam. Kemudian Anita kembali berkata “Aku tidak tahu lagi harus cerita kesiapa. Kau kan tahu aku dari dulu nggak bisa curhat kepada orang lain selain, kau . Jujur, aku tak percaya mereka. Dinda, please dengerin aku. Please.” Pintanya dengan nada yang membuatku tidak tega menolak permintaannya. Dia memang pintar merayuku.

“Hmm, iya deh iya.” Jawabku singkat. Tiba-tiba, langit biru berubah menjadi kehitam-hitaman. Tertutup awan hujan yang berarak dari arah timur menuju desaku. “Anita, ayo kita pulang. Hari sudah mulai gelap, nanti kita terjebak hujan.” Ajakku sambil kutarik lengannya. Anita hanya mengangguk tanda setuju.

bersambung…

[Nurmaila Sari, santri angkatan ke-2, Pesantren Media]

By Nurmaila Sari

Nurmaila Sari | Alumni, santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA | Asal Pekanbaru, Riau | @nurmailasarii

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *