Loading

ikhwanakhwat[dropcap style=”white-dropcap pink” rounded=”nonestyle”]H[/dropcap]entakan langkah sepatu memecah kesunyian di tangga menuju ruang aula atas. Tangga demi tangga bergetar. Sampai di puncak, suara itu terhenti…

Plak. “Siapa tuh” Gelagat Egar yang terlihat ketakutan sambil menoleh ke belakang.

Egar sedang berjaga di depan pintu aula. Menunggu komandan Fikri, alias Kang Ri, Si Ketua Rohis.

“Ini gua, Mamad” suara Mamad terdengar lirih berbisik tepat di belakang telinga Egar.

“Hush… “ Kesal. Egar menepuk bahu belakang Mamad keras. “Kau ini. Ngapain ke sini? Bukannya ada jam?” Tanya Egar berbisik juga.

“Ahh, gak papa. Bentar aja…” Gayanya yang nyante plus slow aja membuat amarah Egar makin memuncak.

“Ngawur, mana boleh kelayaban jam segini. Sana cepat masuk” Mamad didorongnya ke tangga.

Egar memang orang yang tegas dan sangat patuh pada guru dan sopan pada orang tua.

“Ihh. Bentar dulu. Nih” sambil menyodorkan lipatan kertas putih “Tolong taruhin di mejanya Adiba, ya bro. Tararengkyu.” Segera dia lari menuruni tangga. Di ujung tangga dia teriak “Jangan bilang dari gua, Bro.”

Egar bingung, kepo (alias pengen tahu). Sambil garuk-garuk kepala plus mengerenyitkan dahinya penasaran. Dia main-mainkan lipatan kertas itu. Dia putar-putar, dibolak-balikkannya.

Dengan sedikit terpaksa, ditaruhnya lipatan kertas yang bisa dibilang juga surat itu di meja biasa Adiba duduk waktu rapat. Selesai. Dia kembali berjaga di luar.

***

5 menit berlalu. Tepat seperti yang dijanjikan. Fikri datang bersama anggota Rohis yang lainnya. Tak ketinggalan juga Adiba.

“Lama amat, Kang.” Tanya iseng Egar sambil merangkul punggung Fikri.

“Ya, gitu deh. Biasa. Alot banget ng-lobi guru yang lagi ngajar. Harus pake jurus-jurus pamungkas” jawabnya dengan nada kelelahan dan agak ngelantur.

“Oalah yasudah. Mangga… mangga kaleubeut sadayana.” Seru Egar dengan semangat.

Rapat Rohis kali ini membahas usulan dari Adiba, yaitu penggunaan jilbab bagi seluruh siswi. Karena Adiba satu-satunya siswi SMP Al-ikhlas yang seragamnya disambung. Karena belum ada izin dari kepala sekolah. Makanya dia juga ingin mengutarakan maksud baiknya untuk menegakkan syari’at.

Rapat dimulai.

Fikri sebagai ketua memimpin. Kemudian Egar sebagai juru bicara mempersilahkan anggota lainnya untuk mengomentari usulan Adiba yang telah disampaikan melalui secarik kertas di atas meja masing-masing anggota.

Sekilas, Adiba melihat lipatan kertas aneh. Tak ada di meja anggota Rohis lain. Ia penasaran. Dibukanya lipatan kertas itu.

“Dedaunan yang menemani bunga cantik di pagi hari, terlihat segar dan indah ketika embun membasahinya.”

Tersentak Adiba kaget. “Hah…” suaranya memecah suasana rapat di aula yang kondusif. Semua orang melirik padanya. Mata mereka menatap tajam serempak. Tak terkecuali Fikri.

“Ada apa Adiba? Ada usulan lain untuk melobi Kepsek dan para guru?” Tanya Fikri sambil terheran-heran melihat Adiba.

Ahh, .. a… anu… Nggak-Nggak.“ Adiba gugup dan bicaranya mulai terbata-bata. Dia menggelengkan kepalanya keras.

“Siapa yang ngasih ini ke aku? Apa maksudnya? Kok kayak baris puisi aja, pake segala puitis-puitis gitu bahasanya.” Tanya Adiba dalam hati.

Ternyata delapan puluh persen anggota menyetujui usulan Adiba mengenai pemakaian seragam yang disatukan khusus untuk siswi.

“Mengingat sebagian kita kan tahun ini ada yang melanjutkan sekolah. Dan Adiba sebagai pelopornya juga sekarang sudah kelas 9. Jika tidak direalisasikan tahun ini maka akan sulit untuk memulai dari nol lagi.” Suara Fikri membuyarkan angan-angan Adiba tentang secret admire-nya.

“Bagaimana kalau Adiba saja yang melobi Bu Iffah. Nanti saya yang akan coba melobi Pak Kepsek Fauzan.” usul Fikri.

“Hah? Saya?” tanya Adiba dengan nada tak setuju.

“Iya. Nanti biar saya yang menemani Fikri melobi Kepsek. Kamu kan perempuan, akan lebih enak kalau bicara dengan Bu Iffah. Biar kami yang laki-laki ke Kepsek.” Tambah Egar meyakinkan Adiba

“Kamu pasti bisa” Fikri memberi semangat.

***

Esoknya Adiba sudah berencana untuk melobi Bu Iffah, Pembina Rohis di sekolahnya.

Setelah melalui perdebatan yang sangat alot dengan Bu Iffah yang mengajukan berbagai alasan ketidaksetujuannya. Akhirnya Adiba memperoleh izin.

Hasil keputusannya bagi siswa baru nanti, seragam akan dijahit jadi satu. Dan bagi siswa yang sudah terlanjur terpisah seragamnya, akan disatukan mulai 2 minggu ke depan. Dan secara langsung Adiba yang akan mengecek tiap-tiap kelasnya.

Begitu juga dengan Fikri dan Kepsek. Walau sempat mereka gugup, namun demi menegakkan syari’at mereka tahan perasaan itu. Dan akhirnya… mereka berhasil. Walau raut wajah Pak Fauzan saat itu agak asam, karena memang beliau terkenal dengan sifat nasionalisnya yang tinggi.

***

Di kelas usai melobi Bu Iffah, Adiba langsung mengumumkan tentang keputusan baru itu pada teman-temannya.

Di pojok kelas, terdengar Reren menyanggah “Nggak. Gua nggak setuju dan nggak mau. Nanti baju gua jadi ancur, jelek, dan nggak bebas. Kayak daster gitu” sambil menyingkap kerudung rakitnya yang transparan.

“Lho. Coba liat aku. Perasaan aku selama ini nggak kenapa-napa tuh… Lagian, kalau pake jilbab itu jadi aurat kita gak mudah tersingkap, Ren.” Tambah Adiba ”bayangin deh, kita yang pake kerudung masa, maaf-maaf aja nih… keangkat bajunya, atau tersingkap betisnya. Kan nanti kita juga berdosa. Nah kalau pake jilbab jadi kita lebih aman dari yang model kayak gitu” Terangnya.

“Ihh, tapi…” dengan sigap Adiba menyanggah “Nah, ini tuh bukan semata-mata anjuran ya. Tapi peraturan baru. Semua siswi diwajibkan mengenakan seragam terusan. Dalam dua minggu ke depan harus sudah dijahit baju dan roknya”

Tak lama Pak Fauzan masuk kelas, karena sudah jam pelajaran Math yang diajarnya.

***

Bel berdering menembus speaker kelas. Time is over

Pelajaran berakhir.

“Di…” Panggil Reren dari belakang saat Adiba melangkah keluar pintu.

“Hah” Sahut Adiba menoleh ke belakang. “Kenapa, Ren. Mau komplain masalah seragam lagi?”

“Ehm, gimana ya… Masalahnya gua kan ada ekskul cover dance. Jangan bilang itu juga bakal di-off” kata Reren sambil manyun. “Yaps, u’re right” jawab Adiba sambil manggut-manggut.

“Ihh, parah loe, Di. Trus gimana dong?”

“Nggak gimana-gimana. Eh, Ren. Lagian kayak gitu gak ada gunanya juga kali. Ngapain sih kamu pamer bentuk tubuh. Nggak ada untungnya…” mencoba meyakinkan Reren yang kekeh dengan hobinya itu.

Maklum, Reren pernah ikutan cover dance di luar sekolah dengan menjuarai lomba cover dance GG (Girl’s Generation) saat kelas 8.

Menyela perbincangan mereka, datang Egar membawa kertas biru muda. “Adiba…” teriak Egar sembari berlari mendekat. “Afwan, ini ada titipan buat kamu. Aku nggak boleh ngasih tahu siapa yang ngasih.” Secepat kilat, Egar keluar gerbang sekolah. Seakan tumitnya tak menapak di tanah.

“Apa tuh” Reren penasaran. Dia coba merebutnya dari genggaman Adiba.

“Eits, nggak.” Sigap, Adiba menyingkirkan kertas itu. Menyembunyikannya di saku rok.

“Adiba…” Reren kesal.

“Kepo kamu. Udah ahh, pulang yuk” rangkul Adiba menarik Reren sampai ke pintu gerbang. Mereka berpisah di sana karena jemputan Reren sudah tiba.

***

Hari paling menegangkan sudah diujung mata. Hari Sabtu minggu ini, menjadi hari yang ditunggu-tunggu. Semua siswa gugup untuk melangkahkan kakinya pergi ke sekolah.

Ya, penerimaan raport. Begitulah hari ini.

Dimana-mana semua orang tua dan anaknya akan penasaran ‘Berapakah peringkat yang didapatkan dalam semester akhir?. Berapakah rata-rata nilai yang tercantum di buku keramat itu?’ Pertanyaan yang wajib dilontarkan di hari dimana akhir dari penderitaan Reren dan teman-temannya yang acuh tak acuh dengan angka yang terlukis di raportnya.

“Mama, Rara ikut Mama ke sekolah Kak Reren, yah?” rayu Rara sambil menarik-narik baju Mama.

“Jangan ajak dia, Mah. Ntar semua temen-temen cowok Reren dia deketin lagi. Nih anak kan ganjennya minta ampun.” sanggah Reren ketus.

“Kakak… jangan gitu ahh ngomongnya” bantah Mama lembut.

“Ihh memang gitu, kok. Apa?” sambil melotot ke arah Rara yang bergaya sewot.

“Huh. Nggak mau tau. Aku ikut.” lari ke bagasi membuka mobil avanza hitam yang akan dipakai Mama dan duduk di depan, samping kemudi.

***

Setiba di lobi SMP Al-Ikhlas

“Jadi…” Fikri dan salah satu anggota OSIS berjalan melewati Rara dan Mamanya yang baru saja sampai.

“Kakak… Kakak, tunggu sebentar.” Panggil Rara pada Fikri berlari.

“Uhh. Siapa adik kecil ini?” Fikri merasa aneh. Alisnya naik lalu senyum menyungging di bibirnya.

“Hehehe… Aku Rara, adik Kak Reren. Kakak mau ke mana?” tanya Rara genit.

“Ohh, adiknya Reren. Ahh, kakak? Kakak ada urusan sama temen. Rara mau cari Kak Reren, yah. Bukannya dia di rumah?” jawab Fikri santun.

“Ihh, Rara nggak cari kakak kok” jawab Rara kesal pada Fikri yang terlihat tak menganggapnya.

Sesaat. “Kang Ri. Cepat kemari” panggil KetOs dari ruang kelas 9A. ”Oh ya, sebentar”

“Ra, kakak tinggal dulu ya. Dah…” Fikri pergi meninggalkan Rara sambil melambaikan tangan plus sebuah senyuman.

***

Di kantin.

Terlihat Pak Somad, marbot masjid sekolah lagi santai ngobrol bareng siswa kelas 9 masalah UN yang telah usai. Tersisa rasa khawatir dan resah dalam hati para siswa kelas 9 mengenai kelulusan mereka.

Dunia terasa rumit bila mereka terus saja memikirkan momok menakutkan itu. Semuanya terasa berat dipikirkan. Ntahlah, ‘apa kata nanti ajah’. Selalu itu jimat ampuh untuk memecah angan-angan kegelisahan dalam hati mereka.

***

Satu hal yang membuat hati Adiba lega untuk meninggalkan sekolah tercintanya itu adalah masalah pemakaian seragam terusan. Sekarang, semua siswi sudah menerapkan dan pihak sekolah juga sudah mau membuat peraturan untuk penerimaan siswa barunya.

Adiba memang dikenal sangat taat ajaran agama. Dia tak mengenal kata ‘pacaran’ yang sering ada di kamus remaja.

Namun satu hal aneh juga yang membuat hati Adiba terus saja bertanya-tanya ‘Siapakah pengirim surat misterius itu?’

Sampai saat Adiba menerobos puluhan orang di kantin yang penuh sesak. Dia berpapasan dengan Mamad. Ia melihat Mamad menyunggingkan senyum sambil melirik pada Adiba.

Terkejut. Adiba langsung mengalihkan wajahnya ke arah lain. Heran. Aneh. Bingung. ‘Apa maksudnya bersikap kayak gitu ke aku barusan?’ tanya Adiba dalam hati.

Tak lama. Di ujung jalan sepi. Jalan menuju ruang kelas Adiba. Terlihat bayangan orang memakai celana panjang. Bayangannya panjang menjuntai.

Sontak Adiba buru-buru ke kelas. Belum sampai tujuan…

“Adiba…” terdengar suara orang yang Adiba kenal. Matanya melirik ke sana ke mari. Dengan sedikit terpaksa, Adiba menoleh.

Ternyata itu Mamad.

“Hah…”Adiba tercengang. “Kenapa, Mad” tanyanya meredam suasana kaku.

“Eum, kamu… Liat lipatan kertas di meja rapat pas ada rapat Rohis terakhir itu?” Dengan nada sedikit terbata-bata.

Adiba makin bingung. Kenapa Mamad bisa tahu tentang itu? ‘Pasti ada sesuatu’ kata hati Adiba kemudian bertanya-tanya.

“Kamu baca juga surat yang terakhir dikasih sama Egar warna biru?” tanya Mamad lagi. Kali ini mulai lancar.

“Iya kenapa?” singkat Adiba. Dia mulai merasa tak nyaman. Dia baru saja ingat bahwa mereka di sana hanya berdua. “Mad” tegasnya “kalau mau ada perlu bicarakan di tempat rame aja. Aku nggak enak kalau aja ada orang liat. Dikira nanti kita lagi ngapain.” Adiba mencoba mengalihkan suasana dan melangkah pergi.

“Tunggu” cegah Mamad ”Ok… Ok… aku mau ngomong.” Lanjutnya “Sebenernya yang kirim surat itu ke kamu itu…” ditariknya napas panjang lalu… “aku” kata-katanya berhenti di situ.

“Hah?” Adiba sontak kaget. Mukanya langsung berubah, salah tingkah.

“Sebenernya udah lama aku kagum sama kamu” Buru-buru Adiba langsung memotong perkataan Mamad “Mad. Afwan sebelumnya. Tapi kalau maksudmu untuk itu aku menolak. Aku nggak mau kita terjerumus ke lembah kemaksiatan. Kalau memang kamu kagum sama aku, cobalah hilangkan itu pelan-pelan. Alihkan perhatianmu untuk mencintai Allah lebih, dengan sering-sering ibadah. Jauhi aku. Pikirkan hal lain. Aku juga insya allah akan menghindar dari kamu. ”

“Tap…”

“Aku paham kita semua memang punya naluri. Tapi itu nggak selalu harus dipenuhi. Pacaran cuma buat kita jauh dari Allah, banyak ngelakuin maksiat. Sekali lagi aku tegasin. Aku menolak, kalau memang benar kamu mau minta aku jadi pacarmu” tembak Adiba habis-habisan pada Mamad. Kata-katanya sangat menusuk Mamad yang sudah sekian lama mengagumi Adiba.

“Astaghfirullah…” “Afwan… afwan, Di. Aku khilaf. Maaf banget. Kalau memang aku bikin kamu ngerasa aneh. Aku cuma pengen kamu tahu”

Tak tahu apa lagi yang harus dikatakannya, Adiba hanya menjawab “Ya udah. Semuanya selesai. Aku ada urusan di kelas. Aku pergi dulu. Assalamu’alaikum” Adiba pergi sambil membawa botol minuman di tangannya ke kelas.

Mamad hanya bisa terpaku di ujung lorong.

“Wa’alaikumussalam” jawabnya agak lama. [Zahrotun Nissa, santiwati jenjang kelas 2 SMA, Pesantren MEDIA]]

*gambar dari sini

By Administrator

Pesantren MEDIA [Menyongsong Masa Depan Peradaban Islam Terdepan Melalui Media] Kp Tajur RT 05/04, Desa Pamegarsari, Kec. Parung, Kab. Bogor 16330 | Email: info@pesantrenmedia.com | Twitter @PesantrenMEDIA | IG @PesantrenMedia | Channel Youtube https://youtube.com/user/pesantrenmedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *