Loading

“Mah.. sampai kapan aku harus memasok kebutuhan Kakak? Seumur hidup? Aku juga butuh kehidupan sendiri.. kumohon Mah..” kata-kata itulah yang sangat ingin ku ungkapkan, tapi tak akan pernah bisa. Bukannya aku tak ikhlas memberikannya, tapi hanya saja jika ada donor yang lain, mama selalu menolaknya. Lama-lama aku jenuh juga, sebal, kenapa aku diperlakukan seperti ini. Seperti bukan anak kandung saja.

***

Suasana di rumah sakit sangat tenang, sesekali aku bergelidik ngeri membayangkan kematian. Aku tak pernah terbiasa berada di sini. Padahal aku banyak menghabiskan waktu di rumah sakit. Tirai-tirai jendela bergerak pelan dipermainkan angin. Hawa sejuk mengalir masuk ke dalam ruangan kamar berukuran 4X4. Aku mendapatkan diriku terbangun di sofa dekat jendela.

Aku membuka mataku perlahan, ku tangkap warna dinding di hadapanku. Putih keabu-abuan ucapku dalam hati. Warna itu memberiku ketentraman, aku sadar. Ini bukan kamarku, sontak aku terlonjak bangun, aku begitu takut membayangkan aku telah mati. Ketika sudah benar-benar berdiri dan menghadap kebelakang, aku mendapati seseorang yang mirip denganku sedang terbaring di atas tempat tidur yang biasanya ada di rumah sakit. seakan tak percaya, aku mengucek kedua mataku dan melihat dengan lebih jelas. Walau ia mirip denganku tapi ada sedikit perbedaan dengan diriku, dia memiliki alis yang tebal. Setelah berfikir sejenak, baru aku mengetahui bahwa itu adalah kakakku Riri. Huh.. betapa bodohnya diriku tidak menyadari ini lebih awal ucapku dongkol dalam hati.

Sejak aku lahir kakakku yang bernama Riri memang telah dirawat di rumah sakit hingga sekarang, ketika aku menginjak usia 13 tahun. Kata ibu kakak riri lahirnya prematur jadi kak riri belum sempurna organ tubuhnya. Dahulu aku tak mengerti apa maksud perkataan ibu, tapi beranjak remaja aku mulai mengerti.

“Rara, hari ini kamu jangan masuk sekolah dulu ya? Temani kak Riri hari ini bermain, ada pekerjaan yang gak bisa Ibu tinggal. Ya sayang?” ucap Ibuku lembut membelai kepalaku. Aku mengangguk menjawab perkataan Ibu. Aku memandang kelangit dan berdo’a dalam hati semoga kakak cepat sembuh dan kami bisa bermain bersama keluar dari penjara dingin ini.

“Rara..” panggil kakakku, saat melihatku berdiri dekat jendela.

“Ada apa kak?” setengah berlari menuju kak Riri.

“Kita mau main apa hari ini? Aku udah bosan di tempat tidur terus, aku mau ke taman.. kita ketaman ya Ra?” ungkap kakakku memandangku penuh harap.

“Rara tanya ke Pak dokter dulu ya kak.. ntar kalo boleh, kita keluar deh.. Rara juga sebenarnya sedikit bosan disini.. hehehe.” ucapku menjawab kak riri.

“Semoga boleh, kan aku udah istirahat terus selama seminggu ini.” ungkap kakakku sebelum aku menghilang dari ruangan kamarnya.

Aku dan kak riri memiliki banyak kemiripan, padahal kami berbeda ayah. Ibu menceritakan semuanya padaku saat aku berumur 10 tahun. Kata ibu ayah kak riri meninggal dalam kecelakaan saat hendak menjenguk ibu dan kak riri. Ayah datang ke dlam kehidupan sebagai seorang sahabat menemani Ibu menjalani hari yang berat seorang diri. Akhirnya ayah memutuskan menikah dengan ibu dan lahir lah aku, Rara. Kemiripan aku dan kak Riri bagai saudara kembar,  bukan hanya wajah kami yang mirip, organ dalam tubuhku memiliki kecocokan yang tinggi. Jadi apabila kak riri membutuhkan darah, ibu selalu memintaku menyumbangkan darahku pada kak Riri. Aku senang sekali ternyata tuhan memberikan harapan melalui diriku.

“Kak.. kata Pak dokter boleh main di taman, tapi Kakak harus pakai kursi roda agar gak kecapekan.”

“Yah.. padahal aku ingin melatih kakiku untuk berjalan.. Ra, temani aku ketemu Pak dokter yuk!” ajak kakak ku.

“Ngapain Kak? Kan tadi udah Rara izinin, eh? kak jangan tinggalin Rara dong! ih..” sebal dan mengejar kakak ku.

Sesampainya di sana kakakku udah senyum-senyum dan menghampiriku.

“Yuk kita pergi!” menarikku pergi dari depan ruangan itu.

“Loh? Dokternya? Kak?” ucapku bingung sambil menunjuk ruangan itu. aku menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Aku membiarkan tubuhku terbawa oleh kakak.

***

Cukup lama kami bermain di taman, menhabiskan waktu di sana.  Wajah kakak terlihat pucat. Peluh bercucuran di wajahnya yang semakin lama semakin putih. Ia tetrgopoh-gopoh menghampiriku.

“kak? Kakak baik-baik saja?” tanyaku dengan perasaan khawatir yang membuncah tak terbendung. Tiba-tiba saja kakak ambruk menimpaku.

 

*Bersambung*

 

[Ela Fajarwati Putri, santriwati angkatan ke-3 jenjang SMA, Pesantren Media]

By Ela Fajar Wati Putri

Ela Fajar Wati Putri | santriwati angkatan ke-3 jenjang SMA, kelas 2 | Asal Pekanbaru, Riau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *