Loading

Yosi duduk bersandar di kasurnya sambil membaca komik Naruto yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah. Hari Minggu adalah hari terbaik untuk membaca komik sepuas yang Yosi mau, tanpa gangguan apapun.

“YOSI!”

Yah, apapun kecuali Kak Anne.

“Ganggu deh, Kak Anne. Yosi lagi ketemu Sasuke juga,” kata Yosi pada Kak Anne yang muncul di balik pintu tanpa permisi.

“Ya Allah, disuruh bersihin halaman sama ibu juga, masih baca komik aja. Tuh liat kamar kamu juga berantakan. Beresin cepetan, abis itu bersihin halaman. Kakak ke sini belum rapi juga, di laporin ke Kak Bima, yah!”

“Kak Anne nyebelin!”

Yosi menutup komiknya terpaksa kemudian melihat ke sekeliling kamarnya. Perkataan Kak Anne memang benar, kamarnya ini perlu dirapikan. Ah, Yosi jadi menyesal semalam begadang nonton anime advanture summer kemarin sambil ngemil snack dan susu pisang. Lihat saja hasilnya sekarang, sampah dimana-mana.

Dengan berat hati Yosi merapikan kamarnya. Masalahnya, dia tidak mau Kak Anne melaporkannya ke ibu apalagi Kak Bima. Setahun belakangan, sejak kematian ayah, Kak Anne makin garang dan makin sering bertengkar dengan Yosi. Ibu juga makin memperketat peraturan di rumah, dia bahkan hanya diizinkan menonton anime di weekend saja. Untung aja, sebelum ibu berbuat jauh, Yosi sudah menyelamatkan ‘waktu membaca komik selain hari weekend’, kalau tidak mungkin setiap harinya ia akan mati kering di tempat tidur.

Yang paling menyebalkan adalah Kak Bima. Kakak yang paling baik, ramah dan murah senyum itu seperti tinggal kenangan. Dulu saat ayah masih tinggal di rumah Kak Bima terlampau baik dan seringkali memanjakan Yosi. Ketika ayah dipenjara, meski sedikit tapi Kak Bima masih suka memanjakan Yosi dan tetap tersenyum hangat di awal dan penghujung hari. Tapi sekarang, ketika ayah sudah pulang ke rumah Allah, Kak Bima hanya sesekali terlihat di waktu malam dengan wajah lesu dan lelah.

Hah, Yosi sangat merindukan Kak Bima-nya yang lama.

Selesai dengan kamar dan halaman rumah, Yosi hendak kembali ke kamarnya, tapi begitu melihat Kak Bima duduk di kursi depan meja makan, ia mengurungkan niatnya dan menghampiri Kak Bima.

“Kak Bima!” Yosi duduk di depan Kak Bima yang tersenyum membalas sapaannya. “Kenapa deh, kakak kaya abis ngangkat beton lima puluh kilo aja. Mukanya capek gitu.”

Kak Bima, lagi-lagi hanya tersenyum, membuat bibir Yosi mengkerut kesal. “Ih, Kak Bima kenapa, sih, aneh.”

Yosi sebenarnya tahu apa yang membuat wajah kakaknya itu jadi terlihat aneh dan menjengkelkan. Meski ia seringkali dianggap sebagai anak kecil di rumah, tapi ia tetap seorang perempuan kelas dua SMP yang kemampuan berpikirnya terus berkembang. Jadi, meski Kak Anne, Kak Bima ataupun ibu menutupinya, Yosi tetap tahu apa yang terjadi dengan keluarganya hanya dengan melihat situasi.

Yang Yosi simpulkan, masalah utamanya adalah uang. Kak Bima pekerjaannya cukup menjanjikan, dulu, tapi sekarang ia sudah pindah tempat entah karena alasan apa. Tempat kerjanya yang sekarang hanya memberi Kak Bima upah yang pas-pasan untuk sebulan. Toko kue yang dibuat ibu beberapa bulan yang lalu juga belum memberi keuntungan yang menjanjikan. Yosi juga tahu kalau kuliah Kak Anne diujung tanduk karena kendala biaya. Untung saja SMP Yosi negeri, jadi soal biaya tidak membebani pikiran.

Semenjak kematian ayah, keluarga Yosi dilanda krisis keuangan. Ditambah mental yang belum siap, semua orang di rumah terlihat aneh dan menjengkelkan. Dan Yosi tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membantu selain memberikan susu pisangnya pada Kak Bima lalu pergi meninggalkan kakanya sendiri.

Dalam hati ia berdoa, semoga Allah mengembalikan kakak-kakak dan ibunya seperti sedia kala, tidak aneh apalagi menjengkelkan.

 

Hari sudah malam ketika Bima menuangkan air ke dalam gelas. Ia memilih duduk di kursi meja makan sambil menghabiskan airnya, ketika Anne muncul dari balik daun pintu dapur. Tanpa diminta, adiknya itu duduk di depannya lalu menyodorkan sekaleng kacang polong kesukaannya. Dalam hati Bima merasa lucu dengan sikap Anne yang dikenal pelit apalagi untuk kacang polong kesukaannya, tiba-tiba menyodorkan itu padanya.

“Gua tau itu aneh, tapi menurut pengalaman pribadi, kacang polong bisa ngilangin stres lo.”

Bima dan Anne hanya duduk di tempat mereka untuk waktu yang lama. Tak ada satupun yang menyentuh kacang polong hingga tiga menit kemudian Bima memakannya.

“Lu ngerasa ngga sih, beberapa bulan ini yang lu lakuin cuman kerja dan kerja?” tanya Anne tanpa basa-basi. Bima mengangguk tanpa ada niat membantah sebelumnya, kemudian kembali memakan kacang polong. “Gua sih terserah lu mau gimana ke depannya, tapi lu harusnya sadar kalau ibu dan Yosi butuh lo.”

“Gua tau, makanya gua kerja, Anne.” Bima akhirnya angkat suara, menghentikan aksi makan kacangnya dan menatap Anne. “Yosi masih SMP, dan lu masih harus lanjutin kuliah, makanya gua kerja.”

“Tadi sore Yosi cerita ke gua. Aneh banget dia jadi sering cerita ke gua, bukannya elu.” Anne terdiam sesaat kemudian melanjutkan, “Lu tau apa yang dia ceritain? Cuman hal sepele kayak Rika nyontekin peer mate-nya dia dan kejadian-kejadian ngga masuk akal di sekolahnya. Gua hampir nyuruh dia baca komik lagi kalo aja ngga denger apa yang dia omongin selanjutnya.”

Bima masih menatap Anne, menunggunya selesai bicara. “Dia bilang Kak Bima sama ibu aneh dan ngejengkelin. Abis itu dia nangis ampe bikin baju gua basah.”

Anne bangkit dari duduknya, menutup toples kacangnya lalu pergi meninggalkan Bima sendiri setelah mengatakan, “Pikirin lagi, apa yang lebih dibutuhin Yosi, ibu, dan mungkin juga gua.”

Waktu sudah berlalu cukup lama sejak kepergian Anne dari dapur, tapi Bima masih setia duduk di tempatnya, merenungi ucapan Anne. Sejak kepergian ayah, juga sejak beban yang ditanggungnya bertambah, ia semakin berpikir di luar kendali dan seringkali tidak bijak.

Pernah sebulan setelah kematian ayah, Yosi mengajaknya jalan-jalan ke taman hiburan yang direkomendasikan temannya, tapi Bima menolaknya keras dan malah hampir berteriak marah ke Yosi yang membujuknya. Itu adalah awal dari serentetan kejadian lain yang di luar kebiasaannya. Sejak hari itu Bima juga sangat merasakan perubahan sikap Yosi yang mulai segan padanya, mungkin karena takut.

Karena kata-kata Anne tadi, Bima baru benar-benar menyadari, seberapa jauhnya ia dengan keluarganya kini. Dan dia baru benar-benar menyadari, bukan hanya uang yang dibutuhkan keluarganya kini, tapi juga keberadaannya di sekitar mereka.

 

Anne duduk di kantin, menyandarkan kepalanya ke meja dan disuguhi pemandangan Larissa yang memakan siomaynya terlalu lahap. Anne meremas amplop yang ia yakini berisi deretan angka seputar biaya kuliahnya.

Keluarganya sedang dilanda krisis keuangan. Bima sudah terlalu pusing hingga membuatnya stres yang untungnya Anne bertindak lebih dulu untuk menyadarkan kakaknya. Ibunya juga sudah pasti ikut pusing, apalagi toko kue yang baru dibukanya kini belum cukup memberi jaminan keuntungan yang pasti. Anne tidak mungkin mengatakan kepada mereka berdua tentang biaya kuliahnya ini.

“Kayaknya gua harus cuti kuliah, deh.”

“Gila lu!”

“Biasa aja kali, Ris, muncrat nih!”

Larissa menatap Anne yang wajahnya kusut. Sahabatnya ini memang pernah bercerita tentang kondisi keluarganya, jadi Larissa tidak berani memberi komentar lebih padanya. Walau sebenarnya ia tidak setuju dengan ide Anne, karena bakal repot urusannya kalau ia cuti kuliah, bisa berimbas pada mapel yang diikutinya. Mengulang kelas misalnya.

Pada akhirnya Larissa hanya mengatakan, “Itu sih keputusan lu, tapi baiknya sih pikirin lagi. Diskusi juga sama keluarga lu yang lain, Ne.”

Anne hanya mengguman tidak jelas yang dibalas tepukan kecil di pundaknya oleh Larissa.

Hari sudah sore ketika Anne pulang ke rumah dan menemukan ibunya sedang duduk di sofa depan TV. Anne menyalami ibunya lalu hendak pergi ke kamarnya tapi dihentikan ibu yang meminta duduk disebelahnya.

“Kuliahnya gimana, Ne?” Tanya ibu.

“Lancar alhamdulillah,” kecuali biaya, kuliah Anne memang lancer-lancar saja.

Anne memperhatikan wajah ibu yang terlihat lelah. Sepertinya Anne memang tidak bisa menceritakan soal biaya kuliah pada ibunya, itu cuman menambah kerutan di wajahnya saja. “Anne belum pernah ke toko kue ibu, yah?”

“Iya, nih, sekalian ajak temen-temen kamu, Ne.”

“Kapan-kapan deh, bu.”

Hening beberapa saat sampai ibu memegang tangan Anne dan meremasnya pelan, “Ibu tau, biaya kuliah kamu pasti nunggak. Bima cerita ke ibu, kalau dia belum ngasih uangnya ke kamu.”

Anne menelan ludah. Ternyata tanpa diberitahu Bima dan ibu sudah tahu.

“Iya. Udah dapet surat tegurannya, bu.” Anne diam, mengumpulkan keberanian sambil menahan tangis untuk mengucapkan kalimat yang selanjutnya, “Ada rencana cuti kuliah sih, mau kerja aja, bisa kan?”

Anne tidak berani menatap ibu, bisa-bisa ia malah menangis sejadi-jadinya. Kuliah satu-satunya jalan supaya Anne bisa raih cita-citanya jadi dokter, tanpa itu dia bahkan ngga bisa buka klinik apalagi kerja.

“Ibu sama Bima udah ngira kamu bakal mikir kaya gitu. Awalnya ibu setuju sama pendapat itu, tapi Bima keukeuh kamu harus kuliah. Jadi kamu lanjutin kuliah aja, jangan khawatir soal biaya, yah!” Anne menatap ibu tidak percaya. Dia juga tidak percaya Bima bakal mempertahankan kuliah Anne.

Ah, tapi, “Biayanya, gimana bu?”

“Kan ibu udah bilang, jangan khawatir soal biaya. Bima sama ibu bakal usahain yang terbaik. Kamu tinggal belajar aja.”

Pada akhirnya, air mata Anne tetap saja jatuh, tapi karena ia menangis terharu. Dalam hati ia berterimakasih pada Bima dan ibu karena mengizinkannya tetap kuliah mengejar mimpinya. Ia juga bersyukur karena Allah memberikan keluarga yang begitu hebat padanya.

 

Lusi meletakkan ikan lele ke atas meja sarapan hari ini. Dari kejauhan teriakan Anne terdengar membuatnya berdecak kesal dalam hati lalu bergumam, “Yosi pasti susah dibangunin lagi.”

“Bu,” Bima yang sudah ada di samping Lusi membantunya menyiapkan sarapan, sementara lewat lirikan mata Lusi melihat Anne berjalan ke arah dapur. “Bu, Bima mau nanya,”

“Kenapa?”

“Nanti sore ibu ngga ke mana-mana, kan?”

“Ngga sih, kenapa?”

Lusi duduk di kursi depan meja makan, menuangkan nasi untuk Bima, Anne lalu dirinya sendiri. “Eh, jam duaan ibu ada perlu sih ke rumah Tante Kena, dia minta dibantuin ngurus pindahan ke erte sebelah.”

“Lama apa bentar?” tanya Bima.

“Napa sih lu, kepo amat.” cerocos Anne tiba-tiba.

“Bukan kepo, rencananya pengen ajak jalan,” kalimat Bima terpotong oleh Yosi yang tiba-tiba berteriak, “JALAN? Kak Bima mau jalan-jalan? Ikut!”

“Ini lagi bocah, ngedenger jalan-jalan aja langsung melek!” ledek Anne yang membuat Yosi melotot garang ke arahnya.

Sebelum suasana bertambah kacau, Lusi mengetuk sendoknya ke piring, meminta perhatian lalu mengatakan, “Semuanya makan dulu! Hari Minggu gini masih aja pada ribut, yah.”

“Abis Kak Anne-nya…”

“Makan dulu, Yosi!”

Lusi tersenyum melihat Yosi yang menuruti perkataannya meski masih memelototi Anne yang memilih mengabaikannya. Bima juga focus pada makanannya alih-alih menasehati tingkah adik-adiknya.

Hah, hari ini Minggu yang cerah. Hari ini pula genap dua tahun sejak kepergian suaminya. Lusi memperhatikan keadaan anak-anaknya pagi ini. Tidak ada lagi muka-muka lelah atau aura tegang diantara mereka. Tidak ada lagi lingkaran hitam atau keheningan yang dulu sempat menghiasi meja makan di pagi hari.

Bima yang dulu stres karena kepergian ayahnya, juga beban yang harus ditanggungnya berangsur-angsur mulai membaik, dan kembali menjadi Bima yang dulu. Anne yang dulu putus asa dengan kuliahnya mulai semangat belajar tanpa terbebani biaya. Dan Lusi sendiri, ia sudah mulai menatap masa depan untuk anak-anaknya. Toko kue miliknya juga sudah memiliki pelanggan tetap dan memiliki keuntungan yang cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Yosi, ia kembali ceria dengan kembalinya kakak-kakak dan ibunya seperti sedia kala.

“Bu, nanti sore ke makan ayah, boleh?” Lusi menghentikan suapan sendoknya, kemudian menatap Bima, hendak menolak lewat tatapan matanya. Bukannya tidak mau, dia hanya takut akan menangis terlalu lama di depan makan suaminya seperti terakhir kali dia berziarah.

Lusi sudah memberi sinyal pada Bima untuk membatalkannya, tapi suara penuh semangat Yosi menahannya, “Iya, Yosi setuju! Yosi kangen ayah!”

“Anne sih terserah.” susul Anne.

“Bu, boleh, yah?” kata Bima memohon.

Ya Allah, Nampak sekali anak-anaknya begitu merindukan ayah mereka.

“Iya, nanti ibu batal ke rumah Tante Kena. Kita ke makam ayah.” keputusan Lusi dihadiahi pelukan erat Yosi dan senyuman Anne juga tatapan lega Bima.

 

willyaaziza, Bogor 6 September 2016, 2.50 p.m

[ZMardha]

By Zadia Mardha

Santri Pesantren Media kunjungi lebih lanjut di IG: willyaaziza Penulis dan desainer grafis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *