Loading

Tahun baru sudah dekat. Pastinya bakal banyak banget orang-orang yang berjualan atribut-atribut tahun baru. Terompet, petasan, kembang api, topi kerucut, dan banyak lagi yang lainnya. Dari kualitas dan harga murah sampai yang harganya selangit. Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa berbondong-bondong membeli mainan-mainan untuk malam tahun baru.

Tapi sebenarnya, mereka tahu nggak, ya, hukumnya merayakan tahun baru dalam Islam? Tahu nggak, ya, kenapa dan bagaimana tahun baru itu dirayakan?

Kita balik dulu, deh, ke asal-usul merayakan tahun baru masehi.

Sejak Abad ke-7 sebelum masehi, bangsa romawi kuno telah memiliki kalender tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali perubahan. System kalender ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya

Pada tahun 45 sebelum masehi, Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan kalender Julian. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul kalender Gregorian. Tahun baru 1 Janurari pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 sebelum masehi.

Orang Romawi merayakan tahun baru dengan cara saling memberikan hadiah berupa potongan dahan suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.

Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat kristiani. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga dunia.

Bagi orang kristiani yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa Al-Masih. Sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun sebelum masehi. Dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.

Nah. Jadi jelas, kan. Kalau perayaan tahun baru itu sebenernya berasal dari budaya Eropa yang menyembah dewa-dewa. Apalagi mengingat benua Eropa yang mayoritasnya orang Kristiani. Wah, bakal lebih menyimpang, nih.

Gimana, ya, pandangan Islamnya?

Hadits Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda;

“Sesungguhnya bagi setiap kaum (agama) ada kepercayaannya dan hari ini (Idul Adha) adalah perayaan kita.”

Hari raya umat Islam sudah ada, sobat. Yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Kalau kita mengikuti budaya orang kristiani dengan ikut merayakan tahun baru, kita bisa termasuk bertasyabuh, kawan. Seperti dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat al Kafirun;

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

So, masih mau ngikutin perayaan mereka?

[Fathimah NJL, Kelas 3 SMA, Pesantren Media]

By Fathimah NJL

Santriwati Pesantren Media, angkatan ke-5 jenjang SMA. Sudah terdampar di dunia santri selama hampir 6 tahun. Moto : "Bahagia itu Kita yang Rasa" | Twitter: @FathimahNJL | Facebook: Fathimah Njl | Instagram: fathimahnjl

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *