Loading

Memang sudah menjadi kebiasaan kita orang yang hidup di pusat kota melihat orang berkampanye. Ramai-ramai menyuarakan partai mereka sambil membawa spanduk dan bendera, lengkap dengan baju dan atribut lain yang selaras dengan warna partainya, bahkan biasanya bertuliskan nama partai mereka baik di bagian punggung atau dada.

Sama seperti yang lain, hari Sabtu, 22 Maret 2014 saya bersama Teh Neng, Teh Holifah, dan Putri melihat dan sempat memotret beberapa foto untuk dijadikan dokumentasi saat para penyuara sebuah Partai Politik dengan warna ‘biru’ berkampanye tepat mengitari angkot yang sedang melaju membawa kami pulang menggunakan motor mereka.

Sempat mereka berhenti di SPBU untuk mengisi tangki bensin yang mungkin kosong. SPBU penuh dan sangat ribut karena kedatangan mereka. Angkot yang kami tumpangi kebetulan juga berhenti untuk isi bensin. Ketika berhenti di sana, kami berempat sempat berbincang-bincang membicarakan masalah kampanye.

Kataku “Masya Allah, SPBU sampai penuh begini, trus itu emang gratis?”

“Iyalah, dibayar calegnya untuk kepentingan kampanye biasanya begitu” Putri spontan menjawab.

“Trus, nanti kalo udah abis minta lagi ke calegnya gitu?” tambahan pertanyaan yang juga spontan membuat kami nyengir.

Sejenak aku tertawa dan nyeletuk “Iya kalau udah susah payah, panas-pasanasan begitu kepilih. Kalau nggak? Bangkrut, atuh.”

Di sela-sela perbincangan kami yang asyik, salah satu dari kami sempat mendengar salah seorang pengkampanye itu nyerobot antrian pengisian bensin, padahal ada warga yang sudah mengantri lebih dulu. Kemudian dengan nada kesal dan panas, dia kemudian mendahuluinya. Dalam batinku “Apa ini yang dinamakan untuk kepentingan partai? Demi kampanye yang tidak jelas apa manfaatnya, malah banyak menimbulkan mudharat, calegnya menyogok SPBU untuk mendahulukan kepentingan kampanye. Seharusnya malah dahulukan rakyat.”

Itulah kejadian yang sebenarnya. Tanpa mereka memandangan kerusakan dan ketidaknyamanan warga akan adanya kampanye, tetap saja menjadikan itu sebagai tradisi tahunan yang harus ada tiap kali ada pemilu. Membuat kerusakan, mengotori bangunan-bangunan umum maupun milik warga, mengotori jalan-jalan dengan selembaran yang disebar-sebar tidak jelas, membuat macet baik di jalan maupun memenuhi SPBU hanya demi kepentingan pribadi, bukan kepentingan umat. Sekali lagi bukan kepentingan umat.

Sebenarnya itu hanyalah kehendak Si Caleg agar dia terpilih dan bisa bebas mengatur masyarakat dengan peraturan baru yang dibuat seenak hatinya. Berfoya-foya dengan uang haram yang ia rauk dari harta rakyat sebanyak dia mau, bukan untuk mengurusi urusan umat.

Marilah, kita sebagai warga Indonesia yang sadar akan hal ini. Apalagi kits sebagai saudara sesame muslim, hendaknya kita ikut bersama menegakkan kesadaran orang-orang awam mengenai kesalahan sistem demokrasi yang membuat aturan ‘seenak jidat’ mereka, tanpa mementingkan aturan yang telah Allah berikan pada kita. Semoga kita bisa bangkit dan merasakan sejahteranya kebangkitan khilafah. Amiin…

*gambar oleh : Putri Aisyara

[Zahrotun Nissa, santriwati kelas 1 jenjang SMA, Pesantren Media]

By Siti Muhaira

Santriwati Pesantren Media, angkatan kedua jenjang SMA. Blog : http://santrilucu.wordpress.com/ Twitter : @az_muhaira email : iraazzahra28@ymail.com Facebook : Muhaira az-Zahra. Lahir di Bogor pada bulan Muharram.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *