Loading

Hujan semalam, menyisakkan kesejukan di hatiku. Aku yang awalnya berang dengan kehadiran Mama, kini mulai bebas melakukan hal apapun tanpa menghiraukan kehadiran mama di sampingku. Aku membenci mama sejak aku duduk di kelas 3 SD. Mama yang dulu sempat aku sayangi, tega meninggalkanku hanya karena ayahku dipecat dari pekerjaannya. Saat itu mama berpikir, tanpa adanya pekerjaan, ayah tidak mungkin bisa menghidupi kebutuhan sehari-hari keluarga. Padahal di samping itu, ayah berusaha semaksimal mungkin mencari pekerjaan untuk menghidupi aku dan mamaku.

Aku menangis. Aku tatap foto mama 3 tahun yang lalu dengan penuh rasa kebencian.

“Kamu nggak pantas kembali kesini. Kamu tidak pantas menjadi mamaku. Aku benci kamu mama. .” ucapku kasar.

Tiba-tiba saja dari arah pintu, mama mengetuk pintu kamarku. Aku diam sambil menutup kupingku dengan bantal. Tidak berapa lama kemudian, suara ketukan pintu mama tidak terdengar lagi.

***

Rasa lapar mulai menggerogoti perutku. Sambil menjinjit, aku keluar dari kamarku dan berharap tidak ada mama disitu.

Sekilas aku lihat ruang TV, tidak ada mama disitu. Yang ada hanya adikku yang baru duduk di bangku sekolah dasar. Aku lihat ruang dapar, tetap sama. Aku tidak melihat sosok mama disitu.

Alhasil, aku bisa degan leluasa ke dapur untuk mengambil beberapa snack yang tersedia di kulkas.

“Hemm. . banyak juga snacknya. Gak mungkin aku bawa semua. Apalagi, sebagian dari snackkan punya mama. Aku harus hati-hati memilih snack, jangan sampai aku mengambil snack punya mama. Huh. “ gerutuku sambil mencari snack yang aku beli bersama ayah beberapa hari yang lalu.

Tiba-tiba saja. Aku terkaget saat ada tangan yang memegang pundakku. Keringat dingin mulai mengalir dari sekujur tubuhku.

“Nadia, kamu sedang apa?” tanya mama.

Aku diam dan langsung menghempaskan tangannya dari pundakku. Aku coba berlari, mama menghadangku.

“Kamu mau kemana Nadia?” tanya mama lagi.

Aku tetap diam.

Barulah setelah itu, mama menghadapkan wajahnya ke wajahku. Aku menunduk. Aku tidak ingin melihat wajah mama. Meskipun sebenarnya, aku merindukan mama.

“Nadia, tatap mama. Mama mohon?” pinta mama.

Aku menggeleng sambil menahan buliran air mata yang hampir jatuh.

“Nadia, mama mohon. Sekali saja kamu turuti permintaan mama” pinta kembali mama. Mendengar akan hal itu, aku pun memberanikan diri untuk menatap mama. Mama tersenyum.

“Nadia, mama tahu Nadia benci sekali dengan mama. Tapi mama mohon, jangan perlakukan mama seperti itu. Mama ingin, Nadia menganggap mama sebagaimana mestinya. Lagipula, itu semua sudah berlalu sayang. Dan hari ini mama mau menebus segala kesalahan yang dulu pernah mama lakukan kepada kamu dan ayah. Mama  minta maaf Nadia. “ ucap Mama sambil menangis.

“Maaf, semudah itu mama meminta maaf kepadaku. Lalu, selama 13 tahun itu mama kemana. Hilang tanpa kabar. “ balasku dengan penuh emosi.

Mama terdiam. Setelah itu, mama pergi meninggalkanku.

Aku berlari ke arah kamar sambil menangis. Radit adikku yang saat itu sedang asik menonton TV terheran melihatku seperti itu.

“Kak, Kak Nadia. . Buka pintunya kak.” Ucap adikku dari balik pintu.

Aku seka air mataku sambil menghela nafas panjang, lalu turun dari tempat tidurku.

“Ada apa de?” tanyaku sambil tersenyum, seolah tidak teradi apa-apa.

“Kak, kakak nangis?” tanya adikku.

“Nangis. . Nggak kok, kakak nggak nangis. Emangnya kenapa dit?” tanya balikku.

“Tadi aku lihat kakak lari sambil nangis. Makanya aku kesini buat mastiin, kakak nangis karena apa.” Jawab adikku polos.

“Nggak kok sayang, kakak nggak nangis. Itu cuma perasaan kamu aja. Yaudah kalau gitu, kita nonton TV yuk?” ajakku berusaha mengalihkan.

“Emmm. . Ok” jawab adikku sambil tersenyum senang.

Beberapa menit kemudian, suara ketukan pintu dan salam terdengar di ruang depan. Aku yang saat itu sedang menonton kartun bersama Radit langsung bergegas menuju ruang depan untuk memastikan.

Aku tengok jendela di ruang depan itu. Terlihat sesosok laki-laki berseragam kantor mengarahkan wajahnya ke arah jalan. Dan ternyata, itu adalah ayah.

“Waalaikumsalam. Ayahhh. “teriakku sambil memeluk ayah. Ayah membalas pelukanku.

Berselang kemudian, Radit berlari ke arah ruang depan dan langsung memberikan respon yang sama seperti aku.

Alhasil, kami saling berpelukan. Tiba-tiba saja, hal yang tidak aku inginkan terjadi. Mama datang mengampiri kami sambil tersenyum, dengan mata memerah.

“Mas Pram.” Ucap mama.

Sontak ayah kaget saat mengetahui mama ada di rumah. Lalu setelah itu, ayah langsung menghampiri mama sambil menghela nafas.

“Kamu ngapain kesini. Sudah jelaskan, kamu sudah tidak peduli lagi dengan kami. Kami sudah baahagia dengan kehidupan kami yang sekarang, dan itu tanpa KAMU. Jadi aku minta, sekarang kamu pergi dari sini. PERGI. .” teriak Ayah.

Sedangkan mama, mama tidak menggubrisnya. Dengan cepat, mama langsung bertekuk lutut di hadapan ayah sambil menangis. Aku dan Radit hanya diam melihat kejadian itu.

“Mas, maafkan saya. Saya tidak bermaksud untuk melakukan hal itu. Ada hal yang membuat saya terpaksa melakukan hal itu mas. Dan saya, saya tidak ingin mas dan anak-anak tahu. “

“ Apa maksudmu? Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?.” Tanya ayah.

“Sebelum aku meninggalkan kamu, aku divonis oleh dokter menderita tumor otak stadium 3. Dan alasanku meninggalkanmu, karena aku tidak mau menjadi beban untukmu. Pada saat aku tahu kamu dipecat dari pekerjaanmu, aku merasa itu adalah saat yang tepat untuk aku meninggalkan kamu. Maaf, jika cara yang aku ambil membuatmu dan anak-anak menjadi membenciku,”

Bagaikan tersambar petir, ayah kaget dan langsung terduduk lemas. Sedangkan aku dan Radit, kami langsung tertunduk dan menangis.

The End

 

 

 

By novia

Novia Handayani, santriwati angkatan ke-1, jenjang SMA | Alumni tahun 2014, asal Cimanggis, Jawa Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *