Loading

Reog Ponorogo merupakan salah satu kesenian yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Di daerah inilah seorang gadis dilahirkan sebelum ia merantau ke Bogor. Kota Bogor menjadi tempatnya menyimpan cerita dan kerinduannya akan kampung halamannya di Ponorogo. Bagaimana kisahnya? Ayo, lanjut baca!

Waktu kian bergulir. Siang berganti malam begitu juga sebaliknya. Rasa syukur dan bahagia karena Allah Swt telah mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan tahun ini. Menjelang hari lebaran sebagian masyarakat Indonesia berbondong-bondong pulang ke kampung halamannya masing-masing. Istilah lainnya adalah mudik. Mudik memang bukan hal yang asing lagi di telinga kita. Mudik menjadi salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di negeri khatulistiwa ini. Hari Raya Idul Fitri menjadi salah satu momen penting untuk bersilahturahmi dan liburan dengan keluarga. Terutama bagi perantau. Oleh karena itu, menjelang hari lebaran adalah waktu yang pas untuk mudik.

Sebagian besar perantau yang mengundi nasib di beberapa kota besar di Indonesia semisal Jakarta, Medan, Bandung dan lain-lain mungkin tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Rasa rindu ingin bertemu dengan sanak keluarga menjadi satu dari sekian banyak alasan mereka untuk mudik dan berlibur di kampung halaman. Hal ini mungkin juga dirasakan oleh anda yang merantau dari daerah asal. Harta, jiwa dan tenaga rela dikorbankan untuk sampai di kampung halaman tercinta.

Memang, berkumpul dan berlibur bersama keluarga adalah hal yang menyenangkan. Terutama bagi para perantau yang telah jauh-jauh pergi dan meninggalkan keluarga di kampung halaman. Minimnya lapangan pekerjaan di daerah asal menyebabkan banyak orang pergi merantau. Tentunya, pergi ke tempat yang lapangan pekerjaannya lebih luas dan memadai. Belum memadainya lapangan pekerjaan menjadi salah satu masalah di negeri ini. Akibatnya, banyak orang yang menganggur.

Sekian lama merantau dan berada di daerah orang lain bukanlah hal yang mudah. Jaminan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak juga belum tentu mereka dapatkan. Demi menghidupi keluarga tercinta sebagian orang rela meninggalkan daerah asalnya. Bertahun-tahun merantau sudah pasti muncul rasa rindu terhadap keluarga di kampung. Tak jauh-jauh, mungkin untuk sehari saja rasa rindu itu sudah bersemayam di hati. Oleh karena itu, mudik merupakan salah satu hal yang bisa mengobati rasa rindu itu.

Semakin dekat Hari Raya harga tiket kendaraan semakin mahal. Metro TV memberitakan kenaikan harga tiket mencapai 100%. Rela berdesak-desakan di kereta, bis dan angkutan umum lainnya tidak menyurutkan semangat untuk bertemu dengan keluarga. Namun, keselamatan saat di perjalanan belum tentu terjamin. Jalanan yang rusak dan merajalelanya tindakan kriminal menjadi faktornya. Tak hanya itu, ketidaksiapan mental, fisik dan ketidak hati-hatian juga ikut andil. Apalagi menjelang Hari Lebaran. Di televisi maupun di media cetak semisal koran telah banyak memberitakan kecelakaan saat mudik. Oleh karena itu para pemudik diharuskan untuk berhati-hati dan menyiapkan fisik juga mentalnya dengan baik. Berdo’a dan meminta pertolongan kepada Allah Swt adalah kunci suksesnya.

Saya yakin, bagi anda yang berhasil pulang ke kampung halamannya merasa senang. Tapi jangan lupa bersyukur. Tujuan untuk bertemu keluarga pun tercapai. Tapi bagaimana dengan perantau yang tidak bisa mudik dan berlibur di kampung halamannya? Nah, di bawah ini ada kisah tentang seorang gadis yang tidak mudik dan berlibur di kampung halamannya. Mari kita baca!

Tidak pulang ke kampung halaman. Ya, itulah yang dialami oleh Fuji Indriani. Pelajar yang duduk di kelas dua SMK 1 Dasa Semesta di Bogor ini tidak mudik. Untuk tahun 2013, dara berusia 16 tahun itu tidak bisa berlibur di kampung halamannya di Ponorogo, Jawa Timur.

“Karena sebagian besar keluarga dan saudara sudah ada di Bogor. Hanya saudara jauh aja yang ada di Ponorogo.” Jawab gadis sawo matang itu saat diwawancara. Hal itulah yang menjadi alasannya tidak pulang ke Ponorogo.

Tahun 2000 menjadi awal Fuji pergi merantau ke Bogor bersama orang tua, nenek dan bibinya. Rela meninggalkan tanah kelahirannya demi mengikuti sang ayah yang bekerja secara pindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Kota Bogor adalah tempat yang menjadi pelabuhan terakhir ayahnya. Di kota hujan inilah Fuji bersama keluarganya memulai kehidupan baru yang tentunya berbeda dari sebelumnya. Mendapatkan rumah, teman, sekolah dan pegalaman yang baru pula. Jarak Bogor dan Ponorogo memang tidaklah dekat. Namun di Bogorlah kini Fuji berada. Sudah hampir 13 tahun Fuji tinggal di Bogor. Saat ini ia tinggal bersama orang tua, kakak, adik, nenek, bibi dan sepupunya.

Terakhir kali Fuji mudik adalah lima tahun lalu yaitu pada tahun 2008. Tahun itu menjadi kenangan saat ia menghabiskan waktu liburannya. Waktu liburan adalah saat yang dinanti-nanti oleh sebagian besar orang. Menghilangkan rasa jenuh dan penat akan rutinitas sehari-hari menjadi salah satu alasannya. Hal inilah yang juga dilakukan oleh Fuji. Tahun 2008 lalu ia bersama orang tua dan neneknya pulang ke kampung halaman dengan naik bis seharga Rp.150.000/orang. Menghapus kerinduan kepada keluarga nenek di Ponorogo dan tanah kelahirannya. Dengan melewati jalur Solo-Tegal-Jawa Tengah-Yogyakarta mereka pun pergi. Perjalanan ke Ponorogo mereka habiskan selama sehari semalam. Saat ditanya bagaimana perasaan ia mudik saat itu, Fuji menjawab:

“Seneng kalau udah nyampe kampungnya. Tapi di dalam bisnya capek habis sehari semalam.” Ujarnya.

Tidak hanya Fuji, mungkin hal itu juga dirasakan oleh pemudik lain. Berada di dalam bis selama sehari semalam memang bukan hal yang mudah. Rasa panas, pegal karena terlalu lama duduk di kursi atau bahkan berdesak-desakan dengan penumpang lain. Tapi itu semua akan terobati jika sudah sampai di kapung halaman dan bertemu dengan sanak keluarga. Hal itulah yang juga dirasakan oleh Fuji Indriani.

Namun berbeda dengan tahun 2013 ini. Tahun ini ia tidak bisa merasakan udara panas Ponorogo, air yang mengalir di kali dan pepohonan. Rasa sedih tidak berkumpul dengan keluarga di sana dirasakannya. Rasa rindu berteduh di bawah pohon asem sambil menikmati buah melon yang segar juga menjadi hal lain yang dirindukannya. Menurut Fuji, di Ponorogo memang banyak terdapat pohon asem dan buah melon.

Karena tidak mudik, Fuji melewatkan Hari Lebaran dan hari liburnya bersama keluarga yang ada di Bogor. Berkumpul bersama keluarga, jalan-jalan dan ziarah menjadi hal lain yang dilakukannya. Selain pergi belajar ke sekolah, sehari-hari Fuji juga kerap membantu orang tua di rumahnya. Menyapu lantai dan pekerjaan rumah yang lain. Saat ditanya apakah ada keluarganya yang minta pulang ia mengatakan tidak ada keluarga di Bogor yang minta pulang. Ia berasalan karena mereka sudah betah tinggal di kota yang terkenal dengan roti unyilnya. Bogor. Fuji juga menuturkan pendapatnya tentang perbedaan antara Bogor dan Ponorogo.

“Di Ponorogo udaranya lebih panas tetapi masih banyak pepohonannya. Ada kalinya juga. Kalau di Bogor kan kali itu jarang.” Tuturnya.

Tahun lalu Fuji dan keluarganya di Bogor juga tidak mudik ke Ponorogo. Pergi silahturahmi dengan tetangga menjadi salah satu kegiatan yang saat itu ia lakukan. Sedangkan untuk menghubungi keluarga yang ada di Ponorogo, Fuji mengirimkan SMS dan menelepon mereka. Sosok Bude adalah orang yang paling dirindukannya di kampung halaman. Sudah lima tahun ini Fuji tidak bertemu dengan beliau. Perasaan sedih tidak berkumpul dengan keluarga besar dirasakannya.

Tahun 2013 Fuji memang tidak pergi berlibur di Ponorogo. Sama dengan tahun sebelumnya, tahun ini ia menghabiskan waktu liburannya di Bogor. Untuk lebaran berikutnya Fuji belum mempunyai rencana untuk mudik dan berlibur di kampung halaman. Sebagian besar keluarganya sudah berkumpul dan tinggal di Bogor.

“Keluarga di Jawa juga ada yang merantau ke tempat lain. Jadi, mending di Bogor aja. Udah cukup.” Ucapnya dengan santai.

Sama seperti manusia lainnya, Fuji juga memiliki harapan. Harapan Fuji untuk tahun selanjutnya adalah ia ingin semua keluarga yang ada di Bogor mudik bersama ke Ponorogo. Ia juga berharap, keluarga yang ada di kampung halaman selalu sehat dan banyak rezekinya supaya bisa mengunjungi keluarga di Bogor.

“Pokoknya kangen deh sama semuanya.” Kata Fuji semangat.

Cerita dari Fuji Indriani ini memang menjadi secuil kisah anak negeri yang tidak bisa pulang dan berlibur di kampung halamannya. Tentunya masih banyak kisah lain yang dialami dan dirasakan oleh orang lain. Semoga kisah Fuji tadi bisa menambah wawasan dan memberi inspirasi kepada para pembaca sekalian. Dan juga semoga kita semakin banyak bersyukur dan giat beribadah kepada Allah Swt. [Siti Muhaira, santriwati jenjang SMA, Pesantren Media]

 Catatan : Tulisan ini sebagai tugas dalam kelas Jurnalistik.

By Siti Muhaira

Santriwati Pesantren Media, angkatan kedua jenjang SMA. Blog : http://santrilucu.wordpress.com/ Twitter : @az_muhaira email : iraazzahra28@ymail.com Facebook : Muhaira az-Zahra. Lahir di Bogor pada bulan Muharram.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *