Loading

***

Kretek… pintu toilet terbuka pelan. Terdengar suara langkah kaki.

“Vit, Vita.. Kamu tidak apa-apa kan?” Bintang mencari-cari Vita sambil terus bertanya.

Pintu salah satu toilet ketiga dari lima pintu terbuka, “Aku tidak apa-apa, Bin. Tenang saja.” Vita mencoba menenangkan Bintang dengan nada lemas.

“Kamu bohong, mukamu pucat sekali, Vit”

“Tidak, Bin. Tenang sa…” belum selesai Vita bicara, dia tiba-tiba jatuh ke lantai. Sebelum sampai ke lantai, Bintang menangkapnya sambil duduk.

“Vit, Vit, Vita…” panggil Bintang sambil menepok-nepok pipi Vita.

Cemas, Bintang lalu berteriak meminta tolong. Tak kunjung terdengar suara langkah kaki dari luar. Air mata Bintang mengalir dengan deras ke pipinya lalu menetes ke pipi Vita.

Seperti patung, Vita terbujur kaku di pangkuan Bintang. Mukanya sangat pucat bagai dipakaikan bedak tebal. Di hidungnya, masih membekas warna merah darah yang sedari tadi berusaha dia hapus agar tidak terlihat.

Beruntung Bintang ingat dia membawa ponsel di kantong bajunya. Segera dia menghubungi 911. Dengan perasaan panik terus dia berusaha meminta pertolongan. Tak lama terdengar suara dari ponselnya.

“Selamat siang, ada yang bisa dibantu”

Bintang segera menjawab dan menjelaskan secara singkat kronologisnya serta memberitahu petugas tempat kejadian.

“Baik kami segera datang” jawab sigap petugas panggilan darurat itu.

“Jangan segera, pak. Sekarang. Saya serius!” bentak Bintang karena panik.

“Iya. Saya datang sekarang.” Jawab bapak itu kesal.

Telpon seketika terputus. Mungkin karena bapak petugas itu kesal atau dia bersegera datang karena Bintang terus saja mendesaknya.

***

Waktu terus berjalan. Tak ada yang menundanya, apalagi menghentikannya. Semua telah Allah tetapkan dalam suatu kitab. Masa depan dan masa lalu yang telah tersurat, tak ada yang bisa menggantinya. Ini sering direnungkan Vita jauh-jauh hari sebelum keadaannya menjadi seperti sekarang. Terus ia pikirkan, terus ia resapi jalan hidupnya, kemana akan ia tempuh arah yang telah diberikan oleh Sang Maha Pencipta padanya.

Ambulance sampai di sekolah Vita, membawanya pergi ke rumah sakit dengan kondisi terbujur kaku. Bintang ikut menemani sambil menelpon ayah Vita dengan maksud memberitahukan kondisi anaknya.

Keringat mengucur membasahi baju Bintang yang tak tahu harus berbuat apa. Tangannya bergetar sepanjang perjalanan meggenggam tangan Vita yang dingin memucat.

Ya Allah, semoga Vita segera siuman. Pinta Bintang dalam hatinya sambil cemas.

“Memangnya teman mba kenapa?” tiba-tiba sopir ambulance itu mengeluarkan suaranya. Sontak dengan nada kaget Bintang menjawab “A… e…s…sa…saya juga tidak tahu, Pak. Biasanya tidak seperti ini.”

“Sudah pernah ngalamin kayak gini sebelumnya?” tanya sopir itu lagi.

“Yang saya tahu sih tidak sampai pingsan dan berdarah. Tapi dia sering pucat dan lemas tiba-tiba” Jelas Bintang singkat.

Sampai mereka di rumah sakit, perawat langsung membawa Vita ke UGD.

“Mba tunggu di luar dulu ya” kata perawat cantik yang membawa Vita.

1 jam berlalu.

“Bin, di mana Vita?” tiba-tiba suara laki-laki paruh baya terdengar dari samping mengagetkan Bintang yang sedang melamunkan sesuatu.

“Eh, Om.Dia lagi di UGD sejak 1 jam lalu. Om yang sabar ya, mungkin sebentar lagi dokternya keluar.” Kataku dengan nada menenangkan Om Hendra. Ayah Vita.

Om Hendra menjadi single parent sejak 5 tahun yang lalu. Ketika Tante Hani, Ibu Vita meninggal karena Leukimia yang dideritanya. Sejak itu, Om Hendra sangat penting berperan dalam kehidupan Vita. Menjadi sosok ibu dan ayah sekaligus dalam mendidik anak tidaklah segampang mengasuh kucing di kandang. Vita pun begitu menyayangi dan patuh pada ayahnya. Walau mereka tinggal berdua saja di rumah, mereka tampak bahagia setiap hari. Seperti keluarga komplit yang utuh dan ceria.

2 jam sudah Vita di dalam UGD bersama para dokter itu. Aku dan Om Hendra sudah gelisah menungggu. Seperti tak ada kepastian apa yang terjadi di dalam sana.

Tak lama…

“Permisi, ada anggota keluarganya di sini.” Seketika pintu UGD terbuka dan dokter keluar dari sana.

“Saya ayahnya, Dok.”

“Oh bapak, maaf sekali pak. Anak bapak sudah tidak bisa diselamatkan lagi”

Tercengang, diam tanpa kata, kemudian tiba-tiba Om Hendra lemas jatuh dengan posisi duduk di lantai. Air matanya mengalir. Tangannya terus bergetar sambil memegang sapu tangan bunga-bunga warna biru milik Vita yang biasa dia pakai.

Bintang pun diam tak berkutik dari tempat duduknya. Tak ada kata terucap dari mulutnya. Namun tangis deras mengucur dari kedua matanya. Perlahan suaranya keluar memanggil-manggil Vita. Dia tak tahu harus apa. Tak ada berita apapun baik dari Om Hendra, pihak sekolah, bahkan Vita sendiri juga menyembunyikan penyakit yang selama ini dideritanya, ternyata sama dengan Tante Hani.

Ntah apa rasanya menjadi Om Hendra. Ditinggal dua bidadari dalam hidupnya yang sangat dia cintai dengan kondisi yang sama. Kini dia hanya tinggal sendiri dalam bangunan yang dia bangun dengan cinta dan kasih dari Tante Hani serta Vita itu.

Bintang masih tak percaya dengan keadaan. Ia masih saja mengingat bahwa Vita baik-baik saja. Hampir setiap hari dia berkunjung ke rumah Om Hendra. Maksudnya ingin menjenguk Vita. Pikirnya, Vita tak masuk sekolah beberapa hari ini karena sakit biasa. Dan setiap kali dia pergi ke rumah Vita, Om Hendra selalu menangis, tak tega melihat Bintang setiap hari harus mendengar kabar itu. Sungguh sangat menyakitkan bagi mereka berdua.

[Zahrotun Nissa, santri kelas1 jenjang SMA, Pesantren Media]

 

 

By Siti Muhaira

Santriwati Pesantren Media, angkatan kedua jenjang SMA. Blog : http://santrilucu.wordpress.com/ Twitter : @az_muhaira email : iraazzahra28@ymail.com Facebook : Muhaira az-Zahra. Lahir di Bogor pada bulan Muharram.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *