Loading

Di waktu ketika burung-burung saling merapatkan barisan menuju rombongan. Matahari mulai menyinarkan cahaya jingga dari balik bangunan yang saling berhimpit satu sama lain. Bintang merenungi kejadian yang tak pernah ia alami sebelumnya. Mungkin bagi sebagian remaja itu sesuatu yang lumrah, tapi bagi dia tidak. Ketika sahabatnya berpesan padanya dengan raut yang begitu meyakinkan dan hingga mampu membuatnya terpaku menatap dan memerhatikan setiap kata yang diucapkan Vita sahabatnya,”sepertinya aku akan sulit untuk bertemu denganmu lagi, Bin.”

Bintang merenung, menyanggah dagunya dengan kedua tangannya sambil memandang keluar jendela kamarnya. Memandang pohon yang menggugurkan daun yang menguning kecoklatan dan kering. Angin sepoi-sepoi melengkapi suasana sore itu.

Tok… Tok… Tok

Suara pintu diketuk tak membangunkan Bintang dari lamunannya.

“Assalamu’alaikum” suara Mamah  mengucap salam dari balik pintu.

Lama tak dibukakan, dengan perasaan agak kesal Mamah lalu membuka pintu kamar Bintang dengan perlahan agar tak mengagetkan anak kesayangannya itu. Dilihatnya Bintang sedang menulis buku diary di meja belajarnya sambil sesekali memain-mainkan pulpen coklatnya. Maklum, Bintang adalah anak yang suka sekali menulis buku diary. Semua yang dialami, yang dia rasakan, tentang kesukaannya, semuanya ia catat dengan tulisan tangan yang indah bila dipandang.

“Assalamu’alaikum, Nak” sambil menepuk bahu Bintang dengan lembut.

Dengan tersentak Dinda menjawab salam Mamahnya, “Wa’alaikumusalam”

“Eh, Mamah ngagetin aja” dengan segera Bintang menutup buku diarynya dan merapikan meja belajarnya yang penuh dengan buku-buku pelajaran tadi siang yang baru dia keluarkan dari tasnya.

“Udah mandi belum, sayang?” sambil membelai rambut Dinda yang hitam terurai indah.

“Udah, Mah. Pulang sekolah tadi Bintang langsung mandi. Kalo makan sih belum” berusaha mencairkan suasana yang sendu sedari tadi.

“Ayo, Mah makan. Bintang lapar nih” lanjutnya sambil mengelus-elus perutnya karena kelaparan.

Mamah hanya menjawabnya dengan mengangguk. Mereka pun keluar dari kamar dan bersiap makan.

***

Hari beranjak malam, awan-awan kelabu menyelimuti setengah tubuh bulan yang bersinar terang. Mungkin seperti itulah perasaan Bintang saat ini. Dia terus memikirkan apa maksud Vita siang itu.

Vita termasuk orang yang bisa mengendalikan emosi ketika ia sedang dilanda keresahan. Berusaha tersenyum, padahal dalam hati dia sangat merasa sakit. Sampai waktu itu dia sakit perut karena nyeri datang bulan, tetap saja disembunyikan dan berusaha tertawa walaupun gerak geriknya mencurigakan. Dia tertawa, tapi sambil meringis seperti orang kesakitan. Tak pernah sedikitpun mengeluh pada Bintang, malah Bintang yang sering berkeluh kesah padanya. Setiap Bintang merasa ada yang aneh akan langsung ditanyakan pada Vita.

Namun akhir-akhir ini Bintang merasa ada yang aneh dengan Vita. Dalam seminggu saja, dia bisa tidak masuk 3 kali. Tak ada surat izin, tak ada kabar. Bahkan ketika wali kelasnya ditanya, tak keluar sepatah katapun tentang Vita.

Ntah apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh orang-orang itu. Gumam Bintang setiap kali memikirkan tentang sikap Vita yang belakangan ini mulai aneh.

***

“Assalamu’alaikum” salam Bintang sambil menepuk bahu Vita.

“Wa’alaikumussalam” jawabnya sambil tersentak kaget.

“Kamu ihh, bikin kesel orang aja.” lanjut Vita dengan sedikit kesal.

“Yah.. yah.. marah, jangan marah dong. Maaf deh, ngga bermaksud kok, Vit”

“Ihh, tapi kan namanya orang kaget gimana sih, Bin. Lain kali jangan gitu ahh, ntar kalo aku sampai jantungan gimana? Mau kamu tang…” belum selesai Vita berceloteh, Bintang langsung menyerobot.

“Iya.. iya.. Vita yang cantik, jelita, sholehah, bidadari surga.” Sambil meringis tak jelas dengan nada menggoda.

“Amin, Ya Allah” lanjut Vita cepat.

“Halah, kamu ini. Diaminin juga akhirnya.”

“Ya kan, perkataan itu do’a. Selagi kamu ngomongnya yang baik, kenapa gak diaminin coba, kan sayang.” Dengan wajah meyakinkan mencoba membuat alasan.

“Halah, alibi kamu, Vit.”

“Lho, memang begitu kok. Kata pak ustadz juga, coba deh tanya”

“Ngga usah, terima kasih.” jawab Bintang agak kesal.

Seketika mereka diam. Saling memandang satu sama lain. Tak lama, tawa pecah. Mereka memang sering begitu. Candaan mereka kadang membuat orang kesal mendengarnya. Karena diawal, mereka terlihat seperti orang yang sedang bertengkar. Tapi tiba-tiba tertawa. Seperti kesambet petir yang datangnya mengagetkan.

“Eh, udah ngerjain tugas matematika belum? Besok lho dikumpul” tanya Bintang penasaran.

“Kalo belum, ngerjain bareng, yuk. Aku juga ada yang kurang nih, pusing kalo ngerjain sendiri. Abisnya susah sih, kan kamu ratunya Matematika, pasti bisa” ajak Bintang sambil menarik-narik lengan baju Vita.

“Apaan sih kamu, Bin. Biasanya aja bisa kok ngerjain sendiri. Itu mah alibimu saja ingin main ke rumahku, kan?” sindir Vita dengan tatapan yang tajam

“Ngga, kata siapa?” belum sempat Vita menjawab, “Tapi salah satu alasannya itu juga sih, hehe..” meringis sambil menggaruk-garuk kepalanya

“Nah kan, benar apa aku bilang. Aku tuh bisa baca pikiranmu lho, Bin. Hati-hati aja sama aku, kalo kamu mikir macem-macem, aku bisa tau apa yang kamu pikirin” dengan nada meyakinkan ala-ala pesulap terkenal saat menghipnotis korbannya.

“Heum, ciyus? Miapa?” canda Bintang menjawab omongan Vita yang serius.

“Mi… apa aja boleh asal kamu bahagia” jawab Vita dengan logat khasnya.

“Kamu mah pasrah jadi orang.”

“Serah kamu aja deh, Bin. Aku pusing ngomong sama kamu.”

Vita yang masih melanjutkan omongannya tidak menyadari kalau dari hidungnya mengalir cairan merah kental cukup banyak. Bintang yang kala itu melihatnya langsung histeris.

“Astaghfirullah, Vit. Itu apa?”

“Apa, apanya?” tanya Vita heran

“I..it…ituu.. h..hid..hidungmu” seketika Bintang jadi gagap.

Sontak Vita meraba hidungnya. Vita panik sedang dia merasa ada yang mengalir dari hidungnya. Dan setelah dia melihat telapak tangannya berlumur darah, langsung dia berlari ke toilet sekolah yang ada di samping kelasnya.

Lari, Vita berlari secepat kilat sambil menutupi hidungnya dengan tangannya. Bingung, gelisah, takut, bercampur panik seketika merasuk jiwanya. Dia takut jika sahabatnya mengetahui apa yang selama ini disembunyikannya.

Astaghfirullah… apa yang harus aku lakukan, Ya Allah. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi di saat aku sedang menikmati momen bercanda dengan Bintang. Aku tak mau dia tahu tentang aku secepat ini, Ya Allah. Bantu aku agar dia tidak berprasangka aneh tentangku.

Hatinya terus gelisah. Seakan-akan bumi sedang dilanda gempa bumi yang tak ada henti-hentinya. Terus berusaha menghilangkan darah yang mengalir dari hidungnya dengan air dan mengelapnya dengan tisu.

Kretek… pintu toilet terbuka pelan. Terdengar suara langkah kaki.

“Vit, Vita.. Kamu tidak apa-apa kan?” Bintang mencari-cari Vita sambil terus bertanya.

Pintu salah satu toilet ketiga dari lima pintu terbuka, “Aku tidak apa-apa, Bin. Tenang saja.” Vita mencoba menenangkan Bintang dengan nada lemas.

“Kamu bohong, mukamu pucat sekali, Vit”

“Tidak, Bin. Tenang sa…” belum selesai Vita bicara, dia tiba-tiba jatuh ke lantai. Sebelum sampai ke lantai, Bintang menangkapnya sambil duduk.

“Vit, Vit, Vita…” panggil Bintang sambil menepok-nepok pipi Vita.

Cemas, Bintang lalu berteriak meminta tolong. Tak kunjung terdengar suara langkah kaki dari luar. Air mata Bintang mengalir dengan deras ke pipinya lalu menetes ke pipi Vita.

Seperti patung, Vita terbujur kaku di pangkuan Bintang. Mukanya sangat pucat bagai dipakaikan bedak tebal. Di hidungnya, masih membekas warna merah darah yang sedari tadi berusaha dia hapus agar tidak terlihat.

Bersambung

[Karya Zahrotun Nissa, Santriwati angkatan tiga jenjang SMA] 

By Siti Muhaira

Santriwati Pesantren Media, angkatan kedua jenjang SMA. Blog : http://santrilucu.wordpress.com/ Twitter : @az_muhaira email : iraazzahra28@ymail.com Facebook : Muhaira az-Zahra. Lahir di Bogor pada bulan Muharram.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *