Loading

Komplek Laladon Permai, sudah hampir dua tahun saya tinggal di sini. Di komplek perumahan tertua yang ada di Desa Laladon, Bogor. Dari informasi yang pernah saya dengar, awalnya komplek ini bernama Komplek Pertamina. Sebuah perumahan yang mayoritas dihuni orang-orang yang bekerja pada pertamina.

Waktu terus berlalu. Nama Perum Pertamina pun berganti menjadi Komplek Laladon Permai. Warga yang menghuninya pun bukan lagi mayoritas pekerja pertamina, melainkan warga pendatang. Baik itu pendatang dari dekat, yang berasal dari Bogor dan sekitarnya, juga pendatang dari jauh semisal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, tak sedikit pula yang berasal dari luar Pulau Jawa.

Sekian lama tinggal di Komplek Laladon Permai ini, saya sempat memikirkan sesuatu. Saya sempat berpikir bahwa dulu, ketika komplek ini masih berupa hamparan sawah, ketika calon-calon penghuninya masih belum bekerja di Pertamina, masih belum mempunyai rumah, pernahkah mereka berpikir bahwa di masa depan, mereka akan pindah dan menjalani hidup di komplek ini? Juga para penghuni baru yang menggantikan posisi para karyawan pertamina, pernahkah mereka berpikir bahwa suatu ketika mereka akan mempunyai rumah di komplek ini?

Saya pun memikirkan jawabannya. Dan ternyata, jawabannya tidaklah susah. Jawabannya dapat saya temukan ketika saya melihat kembali jalan hidup saya sendiri. Dulu, ketika saya masih SD, saya sudah mulai belajar melihat peta dan mengenal beberapa nama kota yang ada di Indonesia. Salah satu nama kota yang saya kenal saat itu adalah Bogor. Dan saat ini, ketika saya menulis ini, saya hanya bisa senyum-senyum sendiri. Kini, saya berada di Bogor! Sungguh, saya tidak menyangkanya sama sekali.

Sekian lama tinggal di Komplek Laladon Permai ini, saya juga sempat memikirkan sesuatu. Apakah suatu saat saya akan pergi meninggalkan komplek ini? Jawabannya juga bisa saya temukan ketika saya melihat kembali jalan hidup saya sendiri. Dulu, ketika masih SMP, saya sempat begitu yakin bahwa saya tidak akan pernah meninggalkan rumah dan kampung halaman. Tidak akan pergi jauh. Dalam prediksi saya, saya yakin 100% akan tumbuh besar, bekerja, menikah, berkeluarga, dan tua di kampung halaman. Tapi kini, ketika menyadari bahwa saya telah begitu lama jauh dari kampung halaman, persentasi prediksi itu pun merosot tajam.

Itulah dunia. Penuh dengan ketidakpastian. Seseorang tidak dapat memprediksi di komplek, di kota, di desa mana ia akan tinggal. Juga tidak bisa memprediksi apakah suatu saat ia akan pergi meninggalkan komplek dan rumah yang dicintainya. Rumah yang dibangun atau dibelinya dengan susah payah.

Dunia ini memang penuh dengan ketidakpastian. Namun, itu tidak berarti bahwa segalanya bersifat tidak pasti. Ada sesuatu yang mungkin seringkali saya, dan warga Komplek Laladon Permai lupakan. Bahwasanya Komplek Laladon Permai sebenarnya bertetangga dengan sebuah komplek yang suatu saat semua manusia pasti akan pindahan dan tinggal di sana. Sebuah komplek yang tidak hanya bersebelahan dengan Komplek Laladon Permai tapi juga tersebar di segenap penjuru bumi.

Semua orang pasti akan pindahan ke sana. Tidak peduli apakah ia pegawai Pertamina, tukang becak, satpam, ketua RT/RW, dosen, bahkan presiden, akan pindah ke komplek peristirahatan terakhir bernama kuburan ini.

Dan satu hal perlu dicatat. Jika kita tinggal di sebuah komplek perumahan, maka masih ada kesempatan bagi kita untuk pindah ke komplek lain. Tapi ketika kita sudah ‘pindah’ ke komplek pekuburan alias mati, maka tidak akan ada kesempatan untuk hidup kembali.

Allah swt berfirman,

vgcgc

Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS al-‘Ankabut: 57)

Manusia juga seringkali lupa, bahwa kebahagiaan di komplek peristirahatan terakhir ini tidaklah ditentukan oleh uang, ketenaran, jabatan, dan lain semacamnya. Kebahagiaan di sana sungguh ditentukan oleh seberapa besar amal kebaikan seseorang yang dikumpulkannya sebelum ‘pindahan’.

Oleh karena lupa itu, manusia manjadi lupa diri. Merasa bahwa akan hidup selamanya. Merasa akan kekal bersama rumah dengan penjagaan 24 jam satpam komplek. Maka gaya hidup yang jauh dari perintah Allah untuk beriman dan beramal shaleh pun kental terasa. Dan kesadaran bahwasanya hidup ini fana biasanya baru terasa ketika manusia telah berada di penghujung hidup. Ketika manusia benar-benar merasakan sendiri malaikat beraksi mencabut nyawanya.

Lalu, akankah kita termasuk orang-orang yang lupa? Tentu ini tergantung pilihan hidup kita sendiri.[]

[Farid Abdurrahman, santri angkatan ke-1, jenjang SMA, Pesantren Media]

By Farid Ab

Farid Abdurrahman, santri angkatan ke-1 jenjang SMA (2011) | Blog pribadi: http://faridmedia.blogspot.com | Alumni Pesantren MEDIA, asal Sumenep, Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *