Loading

Kita tak dapat menghitung jutaan tetesnya. Namun kita bisa mengindera keberadannya. Entah melewati suara airnya yang meghantam bumi, atau aroma tanah yang menyeruak bersatu mengisi ruang-ruang udara. Atau, indera penglihat langsung menerkanya tanpa teka-teki. Kedua mata langsung menyaksikannya dengan aneka cahaya yang berpendar di dalamnya.

Bak air bah yang tumpah dari awan-awan kelabu di atas sana, hujan menyimpan banyak kenangan di dalamnya. Sedikit intermezo:
Suatu hari, saya bersama mendiang mama saya pulang dari sebuah pengajian di masjid. Kebetulan waktu itu mama saya diminta untuk mengisi majelis ta’lim yang dihadiri oleh banyak ibu-ibu. Waktu itu saya masih menginjak umur (kurang lebih) sembilan tahun. Dengan mengendarai motor Supra X yang diproduksi oleh Honda, mama menggonceng saya yang mengantuk di belakangnya. Mama saya tidak bisa menggonceng penumpangnya di depan, kecuali dalam situasi genting. Walhasil, dalam genggamannya yang hangat dan lembut, kedua tangan mungil itu dibungkus. Ia menahan kedua lengan saya agar tak lepas melingkar pada pinggangnya. Tiba-tiba hujan datang keroyokan tanpa tanda-tanda. Langit berangsur meredup dari birunya. Rasa kantuk saya hilang berganti senang karena bisa bermain hujan-hujanan. Hujan semakin deras dan membuat genangan-genangan di kanan-kiri jalan raya. Dari kecil, saya sangat suka dengan aroma tanah ketika hujan. Saya sangat suka hujan bagaimana pun kondisinya. Tapi, karena takut putri kecilnya ini kehujanan, mama kalang kabut mencari tempat berteduh. Dengan bermandikan air hujan, saya berteriak upaya mama mendengar suara saya.
“Ma, enggak usah stop. Ntar lagi juga nyampe” suara saya masih cempreng dan lugu.
“Kamu enggakpapa kehujanan? Ntar sakit lho.” Mama turut berteriak.
“Enggak sakit kok”
Akhirnya mama memutuskan untuk menerobos hujan yang semakin lebat.

Setibanya saya di rumah. Saya disambut dengan kakak laki-laki saya dan bapak saya. Keduanya sibuk menyiapkan keset dan baju ganti untuk saya dan mama. Saya dan mama basah kuyup. Mama meminta saya segera mandi dan keramas, lalu ganti baju dan mengoleskan minyak cap ‘Tawon’ ke seluruh tubuh saya agar hangat.
Malamnya saya demam tinggi. Saya menggigil hebat. Termometer menunjukkan suhu tubuh saya nyaris empat puluh derajat. Mama amat sangat merasa bersalah,
“Maafin Mama ya, Dek… Harusnya tadi kita berteduh aja.”
Saya mengangguk seraya menahan air mata. Saya paling tidak kuat melihat mama saya memohon seperti itu. Padahal, salah saya juga karena meminta untuk melanjutkan perjalanan.
“Yasudah, Mama temenin tidur ya…”
Meski saya kesusahan untuk tidur, saya merasa hangat dan aman dalam pelukan beliau.

Terimakasih untuk Sang Pencipta Hujan. Telah menciptkan jutaan kenangan yang tak akan pernah habis digerus oleh waktu.[] [Noviani Gendaga, santriwati Pesantren Media, angkatan ke-2, kelas 12]

By noviani

Noviani Gendaga | Santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, kelas 3 | Asal Samarinda, Kalimantan Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *