Loading

Tiga hari setelah hari itu, hari dimana aku mempublikasikan status hubungan ku kepada semuanya. Aku menyadari kalau ada keheranan yang dimiliki orang-orang kepadaku. Keheranan yang dimiliki teman-temanku, tetangga-tetanggaku, kakak-kakakku dan bahkan kedua orang tuaku. Mereka masih saja mempertanyakan “kenapa?”.

Setiap aku pergi keluar rumah, aku sadar berpasang-pasang mata telah tertuju kepadaku. Bisikan-bisikan kecil mereka sampai ke telingaku. Aku berjalan menuju mereka yang berbisik. Sambil melangkahkan kaki kearah mereka, hatiku sibuk mencari kata-kata yang mungkin sedang beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulutku mulai terbuka. Semuanya menunggu kata apa yang akan aku keluarkan. Tapi, tak satu katapun keluar dari mulutku. Aku hanya menarik nafas dalam-dalam, aku berusah menenangkan diri, mencoba berbicara dan kemudian aku sadar, aku tak punya banyak kata-kata!

Awalnya aku mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa aku bisa bersedia menikah dengan laki-laki itu.

Tapi ternyata tidak, aku seakan kehabisan kata. Aku tak bisa menjawab pertanyaan dari mereka semua.

“Kenapa kamu bisa menerima lamarannya?”

“Apa yang kamu cari dari dirinya?”

“Apa kamu……” dan pertanyaan lain yang tak dapat ku sebutkan.

Hari-hari seperti ini ku lewati selama kurang lebih tiga bulan ini. Aku masih sabar dan mencoba tuk menahan diri agar emosiku tidak terpancing. Tapi, aku sudah tak tahan lagi dengan semua bisikan-bisikan orang yang sampai ke telingaku. Aku heran dengan mereka, aku yang akan menikah kok malah mereka yang sewot. Aku sempat bertanya kepada beberapa diantara mereka.

Aku bertanya kepada keluarga besar, saat arisan keluarga di rumah nenek. Aku berdiri dan kemudian berkata.

“Nita ingin bertanya kepada semuanya. Kenapa sih orang-orang atau bahkan kalian, tidak setuju dengan hubungan Nita dan Rafa?”

Semuanya tiba-tiba terdiam. Bahkan keponakan-keponakanku pun ikut diam. Mereka memusatkan pandangan mereka kearahku. Aku harap-harap cemas menunggu jawaban yang setidaknya membuatku lega.

Kemudian kedua kakakku  mendekatiku dan bertanya.

“Apa kamu serius dengan pilihanmu itu, Nita?” Kak Andre kakak pertama mengajukan pertayaan yang disertai senyuman yang sangat terpaksa.

“Emang kenapa kak? Apa ada yang salah dengan pilihanku ini?” tanyaku tegas.

“Sebenarnya kami semua yang ada di ruangan ini menyerahkan sepenuhnya kepadamu karena kamulah yang akan menjalaninya. Tapi apa kamu tak salah pilih orang? Rafa itu orangnya biasa-biasa saja tidak terlalu ganteng, tidak terlalu pintar, dan bahkan gajimu lebih besar dari pada gaji yang di perolehnya. Mungkinkah sekarang ini kamu sedang membuat lelucon? ” Tanya kak Agus kakak pertamaku penasaran.

“Emang apa lucunya kak? Apakah memilih Rafa sebagai calon suami itu lelucon? Lagi pula aku tak melihat fisiknya, otak atau pendapatannya. Yang aku lihat dari Rafa itu adalah cinta yang tulus kak bukan yang lain, kak.” Jawabku dengan nada suara tegas, mantap, tanpa keraguan.

“Nita, siapa sih yang tak mudah jatuh cinta kepadamu. Anak sekarang jendral polri yang cantik, pintar dan juga memiliki kehidupan yang sukses.”

Nita terdiam. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh.

Mereka tak boleh meremehkan Rafa.” Ujarku dalam hati.

Beberapa lama kami bertiga kak Andre, Kak Agus dan aku beradu pendapat.

“Tapi Rafa juga tidak jelek, Kak!”

“Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?” Jawab Kak Raihan.

“Rafa juga pintar!”

“Tapi tetap tidak sepintarmu, Nita.” Jawab Kak Andri.

“Rafa juga sukses, pekerjaannya lumayan.”

“Hanya lumayan, Nita. Bukan sukses. Tidak sepertimu.”jawab kakak-kakakku serempak.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka ini beruntung mendapatkan calon suami seperti Rafa. Lagi-lagi percuma.

“Lihat hidupmu, Nita. Lalu lihat Rafa! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu orang lain untuk menghidupimu.” Suara ayah terdengar jelas di dari sudut ruangan.

Aku terdiam, tak tahu kata apa yang akan ku ucapkan untuk membela Rafa. Mukaku semakin merah, aku berlari menjauhi tempat itu. Ku bawa mobil jazz berwarna putih kesayanganku menuju suatu tempat yang dapat mebuatku tenang dengan pemandangannya.

Mobilku, jazz berwarna putih melaju dengan kecepatan tinggi. Membawaku ke suatu tempat yang tinggi dan jauh dari rumah. Saat itu, tak terpikir olehku bagaimana khawatirnya orang tuaku. Berkali-kali mereka menelponku, tapi tak ku angkat.

Aku kesal dan heran kepada mereka. Mereka sering bilang kepadaku “semuanya tergantung kamu Nita, kami tidak akan memaksa.Toh nanti kamu yang akan menjalaninya.” Tapi faktanya apa? Teman-temanku, tetanggaku dan bahkan keluargaku tidak ada yang mendukung.

 

oooOOooo

 

Sudah satu tahun aku hidup bersama Rafa. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik dibelakangku. Bisikan-bisikan kecil namun jelas itu terdengar sampai tetelingaku. Mereka mempertanyakan berbagai pertanyaan. Salah satunya adalah pertanyaan “apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafa?”

“Jeleknya!” Jawab seseorang yang terdengar samar-samar, aku masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafa agar tampak di mata mereka.

Aku memang hanya merasakan cinta yang besar dari Rafa, besarnya cinta itu hingga aku dapat merasakannya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia berbicara kepadaku. Hal-hal sederhana ini yang membuatku sangat bahagia.

Hidupku bahagia, karirku semakin naik, dan rumahku yang sederhana seakan istana bagiku. Rafa tetap saja bekerja berusaha menafkahi keluarga kecil ini. Aku sudah melarangnya agar tidak memaksakan diri untuk bekerja, toh gajiku lebih dari cukup. Tapi, Rafa menolak dan menyarankanku untuk menabung uang yang ku punya untuk jaga-jaga.

“Sudahlah mas, jagan lagi kamu bekerja sampai malam-malam seperti ini lagi. Toh uang aku dan uangmu lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kita.” ucapku sembari berharap.

“Kamu memang istri yang baik Nita. Tapi, tak usah. Ini kewajibanku untuk menafkahi keluarga kecil kita. Aku akan berusaha semampuku agar kita bisa bersama dalam keadaan bahagia dan beriman.” Jawabnya dengan jelas dan penuh kasih sayang.

oooOOooo

 

Menginjak tahun ke-empat pernikahan, posisi aku di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah sederhana menjadi istana besar, aku memiliki dua anak pintar dan lucu, selain itu aku memiliki suami terbaik di dunia. Hidupku benar-benar berada di puncak kesuksesan. Bisik-bisik masih terdengar, setiap kali aku dan Rafa berjalan sambil bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara, juga bisik Papa dan Mama.

“Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.” Buk Asep mengatakannya di pojok jalan depan masjid dengan nada pelan.

“Istrinya cantik ya? dan kaya! Tak imbang!” bisikan rombongan ibu-ibu yang lain pun terdengar  cukup jelas.

Dulu bisik-bisik itu membuatku frustrasi. Sekarang pun masih, tapi aku belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh aku hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Rabu, 12 Maret 2012 aku ada rapat penting jadi aku harus berangkat ke kantor pagi sekali. Karena aku seorang ibu rumah tangga, jadi aku harus mengusrusi keluargaku ini. Setelah semuanya beres. Aku langsung menuju kantor.

Karena aku orangnya disiplin, maka kupilih jalan pintas agar aku tepat waktu sampai ke kantor. Karena kalau tidak melewati jalan pintas aku bisa terjebak macet di jalan nanti bisa terlambat sampai kantor. Ku kendarai mobil jazz warna putih kesayanganku dijalan yang tidak begitu ramai.

Aku tak tahu apa yang sedangku pikirkan saat itu. Sehingga aku menabrak sebuah truk tronton yang sedang parkir di pinggiran jalan. Bagian depan mobilku hancur, aku tak sadarkan diri selama kurang lebih 30 hari.

Kata suster, selama aku tak sadarkan diri Rafa selalu di sampingku. Ia rajin berdo’a dan memnacakan  Al-qur’an di dekatku. Ia juga tak pernah meninggalkan ku kecuali sholat atau pulang mandi dan mengantar jemput anak-anaknya.

Suster itu juga mengatakan kepadaku “Ibu beruntung mempunyai suami seperti bapak.”

“Emang kenapa, Sus?” tanyaku heran.

“Setiap kali datang, yang pertama kali bapak lakukan adalah mencium tangan ibu dan kemudian berkata ‘Nita, bangun, cinta.’ Setiap malam ia membacakan ibu buku yang kata bapak sih buku yang di bacanya itu adalah buku kesukaan ibu.”

Pada hari ketigapuluh doa Rafa terjawab. Aku sadar dan wajah penat Rafa adalah yang pertama ditangkap mataku. Seakan telah begitu lama. Rafa menangis, menggenggam tanganku dan berdo’a kepada Allah, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh. “Asalkan Nita sadar, semua tak penting lagi.” Inilah kata pertama dari yang keluar dari mulutnya.

Rafa membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nita selama lima tahun terakhir. Memandikan dan menyuapiku, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendongku ke teras, melihat senja persis seperti remaja belasan tahun saat sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafa mendandaniku agar cantik sebelum tidur. Ia ingin aku selalu merasa cantik. Meski seringkali aku mengatakan itu tak perlu.Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafa dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan aku, membuatku pelan-pelan percaya bahwa akulah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Walau hanya di mata Rafa.

Setiap hari Minggu Rafa mengajak aku dan keluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula aku selalu diikut sertakan. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun aku di ikut sertakan. Anak-anak, seperti juga Rafa melakukan hal yang sama, selalu melibatkanku di berbagai kegiatan. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu aku sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafa yang berkeringat mendorong kursi rodaku kesana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat. Lalu berangsur aku menyadari, mereka, orang-orang yang ku temui di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-temanku tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, semua dengan berbisik-bisik.

“Nita beruntung!”

“Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.”

Bisik-bisik serupa juga lahir dari keluargaku. Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat aku makin frustrasi, mrnjadi semakin tak percaya diri.

Tapi aku salah. Sangat salah. Aku kemudian aku sadar ini telah berubah. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan berlangsung lama. Hanya saja, bukankah bisikan itu sekarang beda isinya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untukku. Kesetiaannya membuat orang-orang menyetujui hubungan kami.

[Nurmaila Sari, santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, Pesantren Media]

By nilam

Ilham Raudhatul Jannah, biasa disapa Neng Ilham | Santriwati Pesantren MEDIA angkatanke-1, jenjang SMA | Alumni tahun 2014, asal Menes, Banten | Twitter: @senandungrindu1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *