Loading

 betapa terkejutnya ia saat melihat Ibunya yang terbaring dijalanan dengan berlumuran darah. Ceysa berlari menghampiri Ibunya. Sebuah senyum tampak menghiasi bibir Ibunya, senyum lemah yang mengisyaratkan kesakitan. Perlahan senyum itu mulai pudar, disertai sebuah kata dan tertutupnya mata.

—–0o0—–

Bagaimana perasaanmu jika kau diharuskan untuk berpisah dengan orang yang kau sayangi ? Haruskah kau marah? Kecewa? Sedih? Atau bahkan mungkin kau merasa senang? Senang karna bisa terbebas darinya? Atau apakah kau harus menangis? Menangisi keadaan yang sudah terjadi?

Kejadian dua tahun yang lalu masih teringat jelas di benak Ceysa, setelah ibunya meninggal ia bekerja di sebuah café sebagai pelayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Kini Ceysa tinggal satu rumah dengan sahabatnya, sahabat Ceysa yang bernama Rena itu mengajak Ceysa untuk tinggal bersama nya agar Ceysa tak repot lagi membayar kontrakan rumah lama Ceysa  dan Ibu nya.

“Hei Ceysa! Jangan melamun di siang hari seperti ini. Nanti kesambet setan baru tau rasa kau.” Tegur seorang cewek kepada temannya yang sedari tadi memang terlihat tengah melamun di meja kerjanya.

Ceysa  mengerjapkan matanya sebentar lalu tersenyum menatap temannya itu, “Haha kau ini ada-ada saja. Mana mungkin ada setan di siang hari seperti ini?”

Temannya itu hanya mengangkat bahunya lalu pergi meninggalkan Ceysa sendirian di meja kerjanya. Ceysa tersenyum menatap kepergian temannya itu lalu memandang sekelilingnya.

Tidak ada yang berubah disini, hanya diri dan hatinya saja yang berubah. Ya, sejak kejadian dua tahun lalu itu sebagian diri Ceysa seperti telah hilang dan juga, Ceysa merasa ia lah penyebab kematian Ibunya.

Ceysa termenung memikirkannya. Kembali ia mengingat semua memori dirinya dan Ibunya. Semua memori yang seharusnya sudah tidak boleh ia ingat lagi. Memori yang ingin ia hapus. Namun apa daya? Semua memori itu kini kembali berkelebat cepat di dalam kepalanya dan membuat rasa sakit di relung hatinya.

Ceysa menggelengkan kepalanya pelan berusaha mengusir bayang-bayang itu dari kepalanya. Tangannya menekan dadanya dan berusaha menahan rasa sakit yang kian terasa. Nafasnya tersengal menahan isakan yang ingin keluar.

—–0o0—–

“Ceysa! Bisa membantuku?”

 

Bersambung….

[Hanifa Sabila, santriwati kelas 1 jenjang SMP, Pesantren Media]

 

By Siti Muhaira

Santriwati Pesantren Media, angkatan kedua jenjang SMA. Blog : http://santrilucu.wordpress.com/ Twitter : @az_muhaira email : iraazzahra28@ymail.com Facebook : Muhaira az-Zahra. Lahir di Bogor pada bulan Muharram.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *