Loading

Aku tidak tahu, mengapa aku merasa perlu menuliskannya dalam catatan harianku ini. Mungkin karena aku menganggapnya penting. Semua yang kuanggap penting selalu kutuliskan agar bisa menandai momen-momen terpenting dalam perjalanan hidupku. Mungkin saja suatu saat aku bisa belajar banyak tentang kehidupan dari catatanku ini.

Keluarga baruku. Aku menyebutnya sebagai keluarga besarku. Bukan keluarga besar dengan makna keturunan kakekku dari jalur ibu atau ayahku. Tetapi ini keluarga inti dengan makna yang baru.

Ibuku menikah lagi. Barangkali hal ini tidak terbayangkan olehnya, apalagi olehku. Tetapi kemudian Allah memberinya pendamping hidup yang baru. Berarti aku punya ayah baru.  Tentu saja ayahku masih tetap yang dulu. Yaitu ayah kandungku yang telah meninggalkan kami di dunia ini tiga tahun yang lalu. Ayahku yang selalu menyebutku dengan putriku, putri abi. Ia tidak pernah tergantikan. Yang kumaksud ayah baru adalah pengganti sosok ayah dalam keluarga kami. Ia akan mendampingi ibuku, aku dan adik-adikku menjalani hari-hari kami di dunia ini.

Awalnya terasa aneh bagiku, apalagi bagi kalian. Ayah baruku ini telah memiliki istri dan lima anak. Jadi keluarga besarku terdiri dari satu ayah, dua ibu dan sepuluh anak. Aku adalah anak ibuku yang terbesar (sulung). Anak sulung suami ibuku setahun lebih muda dariku. Berarti dalam keluarga baru ini aku kembali lagi menjadi anak sulung. Bisakah kalian bayangkan? Adikku kini Sembilan orang. Memikirkan hal ini membuatku tertawa kecil sendiri. Tidak hanya aku yang tertawa, teman-temanku pun menertawakan aku. “Wah adikmu sekarang sembilan…”, kata mereka.

Kami tinggal di sebuah kompleks pesantren dengan halaman yang masih luas. Ini adalah rumah baruku sejak keluarga besar pesantren media pindah lokasi dari sebuah kompleks perumahan di dekat pusat Kota Bogor ke tempat yang jauh dari jalan raya di Kabupaten Bogor. Sebenarnya masih terhitung satu kabupaten, tetapi yang satu dekat dengan keramaian kota, yang satunya lagi di desa di ujung Kabupaten Bogor. Desa Pamegarsari, Kampung Sawah Tajur, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor.

Ayahku adalah penggagas dan pendiri Pesantren ini. Ia telah pergi meninggalkan dunia ini dengan mewariskan amanah dakwahnya. Ayah baruku adalah sahabat ayahku yang juga bersama-sama membangun Pesantren ini. Aku sudah lama mengenalnya sejak aku masih sekolah dasar dan belum masuk Pesantren ini. Kalau dipikir-pikir aneh juga. Dulu aku memanggilnya Om, kemudian setelah aku masuk pesantren, aku memanggilnya Ustadz. Kini setelah menjadi suami ibuku, aku memanggilnya apa ya? Teman-temanku seangkatan di pesantren ini juga menanyakan hal yang sama. Tentu saja mereka bertanya sambil bercanda. Sampai sekarang aku tidak menyebut apa-apa karena beliau masih Ustadzku di Pesantren. Canggung rasanya. Tapi tak apalah, mau bagaimana lagi.

Banyak orang mungkin merasa aneh dengan kehidupan baruku. Pastinya mereka heran, “kok bisa”. Seperti tayangan pendek di salah satu channel you tube. Keluarga baruku ini rukun dan baik-baik semua. Kami sekarang tinggal di dalam satu lingkungan pesantren. Ayah baruku adalah pemimpin pesantren ini, sepeninggal ayahku. Ibuku yang  kupanggil Umi ada dua sekarang. Umiku sendiri yang juga ustadzah di pesantren ini, tentu kalian  telah mengenalnya, dan Umi Nur. Umi Nur adalah ibu dari lima adik-adikku yang baru. Dulu aku menyebutnya ammah. Sekarang aku menyebutnya Umi. Urusan makan, minum dan keperluan santri dan pesantren sekarang diurus oleh dua umi ini. Aku sering melihat mereka mengerjakan urusan rumah tangga pesantren berdua. Berbelanja juga berdua. Terkadang diantar ayah baruku. Terkadang diantar salah seorang Ustadz yang mengurus kendaraan di Pesantren ini.

Adik-adikku banyak sekarang. Semua tinggal di pesantren, kecuali satu orang yang usia SMA kelas satu. Berarti adik di bawahku langsung. Ia sekolah di Pesantren putra Panatagama Jogja. Berarti hanya dia yang merantau. Dulu dia adik kelasku di Pesantren Media, setelah lulus melanjutkan ke Jogja, sementara aku melanjutkan ke Pesantren Media jenjang SMA. Umiku bilang, anak laki-laki baiknya merantau selepas SMA. Mungkin tahun depan adikku Abdullah yang harus merantau setelah lulus dari PM. Hahaha rasakan.

Berarti sekarang adik-adikku, Abdullah dan berikutnya sampai yang terkecil yaitu Ulfa, putri Umi Nur masih tinggal di pesantren. Kalau bepergian bersama, ayah baruku ini menginginkan kami berada dalam satu kendaraan. Jadi bisa dibayangkan betapa padatnya kendaraan kami. Yang sekarang dipakai adalah Blue Panther. Mobil Proton Exora milik Pakdeku yang dititipkan di pesantren, akhirnya lebih banyak berteduh di garasi darurat di depan asramaku. Umiku sudah dua bulan ini tak kulihat menyetir lagi.

Umiku tinggal di salah satu kamar asrama putri. Kamar-kamar ini seperti rumah kost dengan satu pintu dengan kamar mandi di dalam. Sebenarnya ada lima kamar berjejer. Namun dua kamar di ujung disekat pembatas terbuat dari fiberglass yang memanjang hingga garasi darurat tempat mobil Proton disimpan. Di salah satu kamar, Umiku tinggal bersama adikku Maryam. Ruangan satu lagi adalah tempat tinggal Ustadz Farid dengan Teh Ira. Kedua penghuni kamar itu keluar masuk halamannya melalui pintu garasi darurat. Sementara tiga kamar lainnya, memiliki pintu khusus ke kebun yang di bagian gerbang pagar daruratnya banyak ditanam pohon cabe rawit pedas yang sangat subur dan banyak buahnya. Itulah pintu khusus asrama putri. Umiku ingin tinggal berdekatan dengan santri-santri putri agar mudah mengawasi.

Umi Nur tinggal di rumah dinas guru yang terletak di bawah kelas-kelas. Letaknya di ujung lain halaman luas Pesantren. Berseberangan dengan asrama putri. Umiku sendiri terkadang masih ke Laladon untuk menengok rumahnya yang dulu menjadi tempat pesantren lama. Rumah itu masih penuh dengan perabotan. Kadang-kadang adik-adikku menginap di sana ketika libur. Aku dan temanku Amilah juga terkadang ke sana menengok barang-barang kami yang tersimpan di kamarku di sana. Sekarang kamar itu menjadi kamar adikku Maryam, karena aku sudah punya kamar bersama Amilah di asrama putri.

Adik-adikku yang laki-laki, tinggal di bedeng. Kami menyebutnya bedeng karena telanjur menyebut bedeng. Padahal itu adalah asrama putra. Yang tinggal di asrama putra adalah dua orang adik laki-lakiku yaitu Abdullah dan Rafi yang mengikuti program pesantren. Ada juga Taqi yang masih duduk di kelas 6 SD Homeshooling juga terkadang ikut-ikutan program pesantren, sambil menyelesaikan pelajaran SD.  Sementara Muhammad, walaupun masih kelas satu Madrasah Ibtida’iyah juga merasa sebagai penghuni bedeng. Satu lagi adikku bernama Thoriq terkadang di bedeng, terkadang di rumah dinas. Oya ada satu lagi adik perempuan (namanya Sausan) kelas lima di Madrasah Ibtida’iyah, tinggalnya di rumah dinas bersama Umi Nur. Yang bungsu bernama Ulfa tentunya bersama Umi Nur.

Bedeng adalah bangunan berukuran 4X10 meter, dengan dua kamar mandi. Hanya ada satu sekat untuk memisahkan asrama putra dengan kantor sekaligus studio rekaman. Asrama putra mempunyai pintu yang menghadap ke bangunan rumah dinas guru dan kelas, sementara kantor mempunyai pintu yang menghadap ke jalan di komplek kecil Patal 10. Lokasi pesantren kami berhadapan dengan rumah-rumah di komplek Patal 10.

Bagaimana dengan ayah baruku? Aku melihatnya sering mondar mandir antara rumah dinas dan salah satu kamar dekat asrama putri yang ditempati Umiku. Sering juga ke bedeng untuk mengontrol santri-santri putra dan terkadang masuk ke kantor atau studio. Tempat lain yang sering dikunjungi adalah kelas atas. Di sana sinyal internet paling kuat tertangkap. Di situlah semua yang ingin bekerja dengan mudah mengupload tulisan atau mendownload data berita. Aku sendiri juga sering ke kelas atas. Selain untuk jadwal belajar, juga untuk mendapatkan sinyal yang kuat ketika mengerjakan tugas.

Demikianlah hari-hari kami yang akan penuh cerita di lokasi pesantren yang baru, dengan suasana baru, dan bagiku secara khusus dengan keluarga yang baru. Belum banyak kuceritakan, khususnya tentang sosok-sosok unik penghuni pesantren ini. Nanti saja akan aku tuliskan dalam sebuah judul topik yang baru. Agar kalian semakin penasaran dengan cerita-ceritaku nanti. [Fathimah NJL, santri kelas 2 jenjang SMA]

By Fathimah NJL

Santriwati Pesantren Media, angkatan ke-5 jenjang SMA. Sudah terdampar di dunia santri selama hampir 6 tahun. Moto : "Bahagia itu Kita yang Rasa" | Twitter: @FathimahNJL | Facebook: Fathimah Njl | Instagram: fathimahnjl

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *