Loading

33

Rambut: Standar Kecantikan Seorang Perempuan

Kawanku yang budiman, yang masih saja setia membaca ceritaku hingga ke bab sekian, jikalau kutanya, apakah kau percaya bahwa aku adalah anak yang terkenal di sekolah?

Aku tak yakin kau akan menjawab, ‘percaya’. Hanya saja, aku ingin kau percaya, Kawan.

Ya, percayalah.

Sebenarnya, aku bukanlah anak yang pintar jika dibandingkan dengan anak-anak touke Cina yang bisa bayar guru pribadi di rumahnya itu. Lalu apa yang membuatku—ternyata—begitu terkenal di masa kanak-kanak? Cantik tidak, kaya tidak, pintar pun tidak. Jawabannya adalah, rambutku.

Ya, rambutku yang panjangnya sampai ujung punggung menarik perhatian guru-guru dan murid-murid di situ. Kata mereka aku memiliki rambut yang begitu indah. Yang disukai oleh mereka selain panjangnya rambutku adalah warna rambutku yang berwarna merah.

Kalau anak-anak Bangsa India itu menyukai rambutku, aku mafhum. Karena, konon orang India sangat menyukai rambut yang panjang. Tak sedikit teman-temanku yang berasal dari Bangsa India rambutnya panjang—walau tak sepanjang diriku. Namun, yang aku herankan, kenapa pula anak-anak Cina yang mayoritas berambut pendek sekaligus berponi rapi itu juga menyukai rambutku?

Mak e adalah biang dari semua ini. Terus terang saja, aku tak menyukai rambut panjang. Aku lebih suka melihat rambut anak-anak Cina itu. Ya, manusia. Terkadang menginkan apa yang dimiliki orang lain. Nah, agaknya anak-anak Cina itu pun merasakan hal sama macam aku.

Mak e menyukai rambut panjang. Nah, anehnya hanya rambutku saja yang dipanjangkan dengan tekad. Neng dulu tak sebegitunya.

Ketika kutanya mengapa rambutku harus dipanjangkan? Tak boleh dipotong, bahkan sebatas poni untuk hiasan dahi pun pantang diusik. Kenapa, Mak?

Ini jawabannya,

“Kau, tu, sudahlah jelek, hitam pula. Tak pantas kau punya rambut yang pendek. Kalau kau cantik, putih macam orang Cina, tak apalah kubiarkan rambut kau botak sekalipun. Untunglah kau punya rambut yang cantik, alis yang cantik. Manfaatkan sebaik-baiknya.”

Aih, Mak, tapi setidaknya aku ini anak Mak e juga. Ciptaan Allah juga. Mak e ternyata tak ubah macam Mak Cik Tini pula. Padahal kalau kuperhatikan, kulitku bukan hitam, melainkan coklat.

Aku tak sakit hati dibilang begitu karena benar adanya. Kalau kupikir-pikir, orang-orang india banyak yang memanjangkan rambutnya barangkali karena kulit yang tak mendukung untuk menjadi cantik. Namun kalau kulihat vidio-vidio Bollywood itu, kadang hatiku bertanya-tanya, mereka cantik pun tak kalah putih. Tapi mereka tetap memanjangkan rambutnya.

Agaknya rambut panjang adalah standar kecantikan seorang perempuan. Demikian simpulku.

Adapun pasal alisku, tak kalah banyak yang takjub. Kata Teacher Romla yang penyayang, aku terlihat manis karena alisku yang sambung.

Ha, karena Mak e menyukai salah satu artis Bollywood yang bernama Kajol, Mak e bersyukur sekali aku dianugerahi alis macam Kajol. Sambung. Dirawatnya alisku tak kalah elok macam rambutku. Dikasihnya minyak zaitun setiap hari, agar selalu hitam dan rapi.

Walau Mak e mengatakan bahwa rambutku cantik, namun itu tak membuatnya puas. Mak e tak suka dengan warna rambutku yang secara alami merah itu. jikalau ada—biasa orang India—yang memuji betapa cantiknya warna rambutku, Mak e hanya melihatku dengan tatapan, ‘dari mana cantiknya?’. Saking tak sukanya beliau dengan warna rambutku, sampai beliau rela menyemir rambutku dengan warna hitam. Lantas dipolesnya minyak kelapa yang sudah bertahun-tahun dipercaya oleh Mak e bisa membuat rambutku menjadi hitam—walau sifatnya hanya sementara—setiap hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *