Loading

27

Keringat Ikan: Solusi Cerdas Anak

Neng Sus, pagi-pagi sebelum dia berangkat kerja, dia menyempatkan dirinya untuk menyediakan cairan putih untukku. Katanya ini vitamin.

Aku terkejut dengan rasa cairan vitamin ini. Baunya amis, rasanya bukan cokelat atau stroberi, melainkan macam ikan. Apa hanya perasaanku saja? Tapi, kan, aku tidak sedang merindukan ikan.

“Neng, apakah banar kalau cairan putih ini adalah vitamin?”

“Tentu saja, Min.”

“Tapi kenapa rasanya seperti ikan laut?” Aku merengut.

“Hah! Ini minyak ikan.”

“Minyak ikan?”

“Iya.”

“Ah, aku tak paham! Apa itu minyak ikan? Kalau Neng mau aku sehat bak ikan segar di laut, suruh saja aku makan ikan tongkol.” Aku menyilangkan tangan ke depan dadaku sambil menekuk mukaku. Nengku tertawa.

“Minyak ikan itu tak sama macam daging ikan.”

“Bilang saja kalau itu adalah keringat ikan.”

“Marahlah sesukamu. Aku akan terus memberimu ini. Bahkan susumu sudah kucampur dengan minyak ikan ini. Berbahagialah!”

“Tidak! Apa faedah dari keringat itu, Neng? Aku bahkan tak sudi mengonsumsi keringatku sendiri. Apalagi minyak ikan!” Aku memucat.

“Ya, intinya itu vitamin yang akan membuat otakmu berfungsi dengan baik.”

 Menyebalkan! Apakah selama ini dia pikir kalau otakku tak berfungsi dengan baik? Kalau begitu, bagaimana mungkin dengan otak yang tak berfungsi dengan baik ini bisa lulus tes bahkan hapal asal-usul Si Budi!

Benar-benar omong kosong!

***

Hari ini aku ada jadwal membaca aksara Cina di kelas. Ya, sekitar dua puluh abjad yang diajarkan untuk permulaan. Kami disuruh untuk menghapalnya, lalu nanti kami disuruh maju ke depan satu-persatu.

Aku menelan ludah, membayangkan bagaimana aku bisa lari di situasi yang rumit ini. Belajar tiga bahasa yang tak pernah dijajah lidah sebelumnya, sungguh lelah. Beruntunglah kawan-kawanku yang masih berkebangsaan India maupun Cina. Setidaknya satu beban mereka tak terlalu berat karena mereka tentunya sudah menguasi bahasa ibu mereka yang diajarkan di sini. Lah, aku? Bahasa ibuku adalah Bahasa Jawa. Bahasa lain yang bisa kukuasai sejauh ini masih Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu.

Tak apalah. Seharusnya aku bersyukur. Setidaknya, kalau nanti aku sudah mahir dengan ketiga bahasa yang diajarkan di sini, aku akan berstatus sebagai orang yang mahir berbicara dalam tujuh bahasa: Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu, Bahasa Malaysia, Bahasa Cina, Bahasa India, dan Bahasa Inggris.

Hebat nian!

“Hei, Natasha, apakah kau tidak segera meminum susumu?” Tanya teman di sebelahku dengan Bahasa Inggris yang mengagumkan—namanya Achali, dia Orang India.

Kujawab dengan Bahasa Inggris pula. Tak mau kalah diri ini.

“No.”

“Why?”

“Uhm, I don’t like.”

“Why?”

“This is vitamin.”

“Ha? I think this is milk. I can smell it.”

“No. Vitamin.”

“Uhm, okey. But, anyway, I think you should have to drink it soon.”

Ah, aku tahu kalau dia khawatir akan nasib susuku yang akan basi jika tak segera kuminum. Tapi hatiku berat. Masih terasa rasa ikan yang mengganggu itu.

Tetapi, karena Achali terus memandangiku, secara tidak langsung menyuruhku untuk segera meminumnya. Akhirnya aku mengalah. Aku mengambil botol susuku. Hati ini masih berat.

“Uhm, Achali, do you want my milk?”

“Oh, I can drink it least.”

Achali mengambil botol susuku dari genggaman tanganku. Tanpa ragu, dia meminumnya dengan nikmat. Setelah selesai, dia mengembalikannya padaku sembari berkata,

“Thank you.”

Aku mengangguk dengan terkagum-kagum.

Baiklah. Mari kita coba.

Aku memantapkan genggaman tanganku pada botolku, lalu.. meminumnya dengan mata terpejam.

Habis.

Hasilnya, sangat di luar dugaan. Ini enak! Rasa ikannya sama sekali tak terasa. Tapi aku yakin kalau Neng mencampurkan keringat ikan itu di sini, di dalam botol susuku.

Sekarang aku paham. Neng memang sengaja memasukkannya agar keringat ikan itu tak terasa di lidahku. Ah, dia sangat cerdas sekaligus baik.

***

Teacher Fei tiba-tiba memanggilku setelah beberapa saat aku selesai menghapal aksara Cina yang ditulis di papan tulis. Disuruhnya aku maju, dan membaca bunyi aksara-aksara itu dengan lantang di depan kelas, dan di simak oleh teman sekelas yang sebagian adalah kebangsaan Cina.

Aku deg-degan. Namun aku, dengan sekuat tenaga berusaha untuk mengekspresikan wajah yang percaya diri. Aku tak ingin tampak rendah di hadapan anak-anak cina itu.

Kubaca aksara-aksara rumit itu dengan teliti. Syukurlah, dari awal sampai akhir, aku berhasil menyebut bunyi-bunyi itu dengan sempurna benar. Sampai-sampai Alicha melongo melihatku.

“You are really smart, Natasha. What is your secret?”

“Fish.” Jawabku dengan mantap tanpa ragu.

“……”

***

Apa yang tadi pagi Neng katakan, sungguh itu bukanlah omong kosong belaka. Aku tarik kembali kata-kataku. Aku sudah membuktikannya.

By natasha