Loading

17

Andai Kami Jadi Kaya

Hari ini adalah hari pertama Mak e pergi bekerja. Segala puji bagi-Nya, ramadhan telah terlewati dengan berhasil, meninggalkan kerinduan dalam sendu. Berharap, sangat berharap bisa melewatinya lagi. Puasaku pun sungguh, segala puji bagi-Nya, tak ada satu pun yang tertinggal. Kini aku yakin bahwa aku benar-benar sudah menjadi anak yang baik.

Maafkan aku yang menceritakan ini tanpa mengabarkan tentang hari raya. Kau tahu, kalaupun kuceritakan, kurasa sama sekali tak berguna. Karena, suasana hari raya kami, penduduk Kampung Kasawari sangatlah jauh dari kata suasana hari raya yang sesungguhnya.

Ah, kami bahkan tidak melaksanakan shalat Idul Fitri. Kenapa tanyamu? Tentu saja karena daerah kami ini sungguh jauh dari masjid. Menjamah makanan dari rumah ke rumah sambil bermaaf-maafan yang memang sudah menjadi tradisi hari raya pun sama sekali tak kami lakukan. Percuma saja, Kawan. Toh, sekarang, yang masih menetap di Kampung Kasawari hanyalah Keluarga Syakur, dan Mak Cik Tini. Ya, benar, teman-teman Mak Cik Tini tentulah sudah meninggalkannya sendirian. Demi kelangsungan hidup, pasti selalu ada yang dikorbankan. Jadilah Mak Tini kalau menggosip hanya sendirian, dengan dirinya sendiri. Menyedihkan? Entahlah, itu bagiku cukup menggembirakan. Bukannya aku jahat karena berpikiran seperti itu. Kalian tentunya sudah tahu sebab akibatnya.

Baiklah, hanya itu yang bisa aku jelaskan, agar kau, Kawanku, tak salah paham ataupun kebingungan, bertanya-tanya pasal hari raya itu. Mari kembali ke ceritaku yang sempat tertunda tadi, yakni tentang pekerjaan baru Mak e.

Mak e kini bekerja di pabrik pelelangan baju dan boneka. Aku biasa diajak olehnya, sebab tak ada lagi orang di rumah. Aku sungguh bukan main girangnya. Ini adalah anugerah. Di sinilah, untuk pertama kalinya aku bisa bermain-main dengan boneka-boneka yang amat sangat menggemaskan. Dari boneka yang kecil hingga yang besar, semuanya meninggalkan rasa haru yang bertubi-tubi dalam dadaku. Belum lagi baju-baju yang bertumpuk-tumpuk ini. Aku senang berguling-guling di atas tumpukan baju bekas yang menggunung-gunung ini.

Bos Mak e sangatlah baik. Dia mengizinkanku untuk ikut serta, dan juga, kami dibolehkan membawa pulang baju yang tak terpilih untuk dilelang. Dan gawatnya, baju yang konon tak layak untuk dilelang ini sebenarnya masih sangatlah bagus. Ya. Memang tak pantas untuk dilelang, namun masih sangat pantas untuk dikenanakan. Jadilah acap kali sebelum pulang, Mak e memilih-milih baju yang bagus untukku, lalu dibawanya pulang, sampai-sampai tak muatlah lagi lemari pakaianku itu.

Kini aku tak lagi ingin menjadi kuli. Aku ingin menjadi seorang bos besar saja. Mohon do’akan impian baruku ini, agar diijabah oleh-Nya, ya, Kawan. Konon kalau kau mendo’akan saudaramu tanpa sepengetahuannya, maka do’amu akan lekas diijabah, dan kau akan dido’akan oleh para malaikat, sebagaimana kau mendo’akan saudaramu. Maka dari itu, pintaku, do’akan aku dengan setulus hatimu, lalu aku akan berpura-pura tidak tahu agar do’amu lekas diijabah oleh-Nya, lalu sebagai timbal baliknya, kau akan dido’akan oleh malaikat. Tapi ingat, jangan kau do’akan apa-apa yang tidak baik padaku. Sebab konon, kalau kau mendo’akan saudaramu dengan apa-apa yang buruk untuknya, maka sungguh do’a itu tak akan pernah diterima di langit—kecuali kalau kau adalah orang yang dijahati—dan akan kembali pada dirimu sendiri, sebagai balasan karena kau telah berbuat hal buruk pada saudaramu.

Apakah kau bertanya kenapa aku tiba-tiba ingin menjadi bos besar, padahal sebelumnya ingin menjadi wanita kuli? Ya, kuberitahu, Kawan.

Ayahku bekerja sebagai kuli—kau tahu itu—dan pulangnya setiap dua minggu sekali, bahkan sesekali tak pulang sama sekali selama satu bulan. Aku selalu menanti dengan penuh kerinduan dalam kesabaran. Tersiksa? Ah, aku bahkan berulangkali memarahi Ayahku, pura-pura kesal, agar tak lagi bekerja jadi kuli. Aku muak sebenarnya. Aku penasaran apa yang sebenarnya yang beliau lakukan. Aku tahu, menjadi kuli itu sulit, dan tak seharusnya aku mempersulitnya lagi. Namun, seringkali tindakan bertindak tak sesuai dengan akal—walau ia seringkali benar—melainkan mengikuti hati—walau ia seringkali salah. Ya, mungkin karena aku pada saat itu masih berumur lima tahun. Umur juga mempengaruhi kelakuan, Kawan.

Akibat perasaan yang menyusahkan itu muncul tanpa perintah, aku jadi sering berandai-andai dalam keheningan. Andai saja Ayah adalah seorang bos besar, maka dia pasti tak akan sering meninggalkanku. Andai saja kalau kami kaya, pasti Ayah dan Mak e tak usah bersusah payah seperti ini. Andai saja Allah bisa sedikit lebih baik lagi pada kami, menjadikan kami keluarga yang kaya, seperti keluarga yang memiliki rumah besar yang dulunya pernah aku garap bersama Cak Har dan kawan-kawannya.

Andai. Andai. Andai.

Betapa mirisnya hatiku saat itu.

Tetapi, Kawan, berandai-andai seperti itu tak akan membuat Allah merasa bersalah, lantas menjadikan kita seperti yang kita inginkan. Toh, Allah itu Maha Benar dan Maha Tahu, segalanya, apapun yang terbaik untuk kita. Kupikir, manusia sering sekali merasa bahwa dia Maha Tahu sekaligus Maha Benar, padahal sebenarnya adalah Maha Ingin dan Maha salah. Ingin ini, ingin itu, namun semuanya adalah salah kalau tak kita minta petunjuk pada yang Maha Benar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *