Loading

Keke membisu di atas bangku kecil, berpermukaan bulat berbentuk panda. Keke mencoba melepas penat, setelah seharian sibuk berada di ruang penelitian kedokteran, milik papinya. Mami Nina, ibu Keke, telah menghancurkan mood anak bungsunya itu. Menghancurkan. Benar-benar menghancurkan.

Keke baru saja diiris sembilu.

Hamengkar, kakak laki-laki Keke, menyeret bangku kayu yang tak jauh dari tempat Keke membatu. Hamengkar menyeret bangkunya, hingga sejajar dengan bangku panda Keke.

“Sudahlah, Ke… Kamu tahu sendiri kan, bagaimana sifat Mami?” Hamengkar menyeka air mata adik perempuannya itu. Lalu mengusap pelan, ubun-ubun Keke. Biasanya, hanya itu yang Hamengkar lakukan, dan cukup untuk meredakan ledakan pada dunia Keke.

Keke terisak dan jatuh dalam pelukan Hamengkar. Entah bagaimana dia bisa secengeng itu. Keke menangis se-jadi-jadinya. Meluapkan segala problem dan masalah yang kokoh, tak mau runtuh dari atas pundaknya.

***

                “Emangnya, Keke pengin kuliah di mana setelah lulus SMA?” Mami Nina memasukkan beberapa irisan buah Semangka ke dalam mulutnya. Mata Keke membulat. Dia sudah mantap benar dengan pilihannya, jauh sebelum Mami Nina bertanya perihal ini.

Keke menggeleng. Dia kembali tenggelam dalam lautan ice cream strawberry-nya.

“Enggak mau kuliah?” Suara Mami Nina sedikit meninggi. Keke hampir tersedak.

“Keke pengin menulis…”

“Menulis?”

Keke dapat menerawang isi kepala Mami Nina. Keke mengangguk mantap. Dia selalu kokoh dalam keinginannya menjadi penulis terkenal. Dia yakin, tidak ada satu kepala-pun yang dapat menghalangi keinginannya itu. Meski Mami Nina mengancam, dengan ancaman apa saja.

“Menulis apa?” Mami Nina dingin. Sedingin matanya yang menyusuri wajah anak bungsunya itu.

Keke menenggak segelas penuh air putih, hingga mantap asa di hatinya.

“Apa saja. Keke ingin menulis tentang Mami, tentang Papi, tentang Bang Hamengkar, tentang keluarga kita, tentang kota ini, penguasa yang serakah, negara ini. Tentang dunia Keke yang ternyata begitu sempit.” Keke mencoba menstabilkan emosinya yang meledak-ledak. Mami Nina mengerutkan dahi.

“Lebih baik kamu jadi dokter saja, Keke… Mami jelas-jelas melihat nilai-nilai Biologimu selalu unggul di sekolah. Papi dan Mami juga seorang dokter. Setidaknya, kami akan bangga kalau ada yang mewarisi profesi kami.”

Keke menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menahan beban di dalam dadanya.

“Profesi tidak melulu harus diwarisi, Mi… Ada kalanya, manusia menginginkan sebuah revolusi. Keke sudah besar. Keke berhak menentukan jalan hidup yang akan Keke tempuh.” Keke berkilah.

“Mami akan malu melihatmu tidak menjadi sukses. Penulis itu, tidak mempunyai pekerjaan yang tetap. Seperti kerja honoran. Kok anak dokter, malah jadi penulis enggak jelas kayak gitu!”

Keke tersudut.

“Mami bahkan belum pernah lihat tulisanmu.”

“Karena Mami tidak pernah mau untuk melihat.”

***

                Hamengkar meleburkan beberapa sendok gula pasir, lalu mengaduknya, hingga larut bersama secangkir teh hangat. Kepulan asap di atas cangkirnya, menyebarkan aroma melati yang segar dan menenangkan. Hamengkar melamun.

“Bang…” Keke muncul di balik tiang pembatas ruang tengah dan dapur. Matanya masih sembab. Hamengkar menoleh, seraya tersenyum.

“Hai, Ke!” Hamengkar menyodorkan teh melati hangat, yang barusan ia buat. Keke mengambilnya dengan hati-hati. Suhu panas merambat ke atas permukaan telapak tangannya.

Thanks!

“Apa kabar?” Hamengkar bertanya, seolah sudah lama sekali mereka tidak berjumpa. Keke sudah pulih dari pilunya.

“Selalu bahagia!”

Keke selalu begitu. Dia mengutip sebuah kemistri di dalam buku karya Farid Poniman. Buku Penjelasan Hasil Tes STIFIn, yang tidak pernah absen dari dalam tas ranselnya. Sebuah kemistri yang Keke kutip dari bab Instinct. Ya! Keke pemilik otak tengah yang serba bisa. Tapi Keke sangat temperamental dan cendrung setengah-setengah dalam melakukan kegiatan.

“Keke sudah tahu jawabannya, Bang…”

Hamengkar benar-benar bingung. Bagaimana bisa, gadis yang baru saja menangis sejadi-jadinya, dalam dekapannya itu, langsung ceria, layaknya not problem detected. Keke benar-benar pemilik otak tengah yang mood-nya sama sekali tidak bisa ditebak.

“Keke bisa jadi dokter, sekaligus penulis yang bisa mencerdaskan dan membantu proses pengobatan manusia. Keke serba bisa! Dan Allah kasih ini, karena Keke istimewa.”

Hamengkar hanya melongo.[] [Noviani Gendaga, santriwati Pesantren Media, jenjang SMA, angkatan ke-2]

By noviani

Noviani Gendaga | Santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, kelas 3 | Asal Samarinda, Kalimantan Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *