Loading

Sering terdengar pertanyaan yang selalu membisik di relung hati, “mengapa semuanya harus terjadi?” aku selalu bingung dengan pertanyaan hati  dengan jawaban “ini semua salahku!” dengan tak tahu jawaban yang sebenar-benarnya. Aku berfikir bahwa semua ini akan berhenti bila aku pergi untuk selama-lamanya. Namun aku takut dengan siksa Allah SWT.

Namaku Alfan, umurku sekitar 19 tahun. Kesalahan itu yang selalu menghantuiku, dengan tidak sadar aku menjadi pengecut, seolah itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku mencoba untuk bisa melupakannya, namun rasanya tidak mungkin, kesalahan terbesar itu selalu menghantui, bagaimana mau melupakan. Aku mempunyai kakak laki-laki, namanya Arfian. Dua anak dari orang tua yang selalu pilih kasih pada anaknya. Karena  hanya bisa memanfaatkan anaknya demi keselamatan anak pertamanya.

Ya Arfian kakakku yang mengindap penyakit gagal ginjal itu, tidak pernah memikirkan adiknya, padahal yang menolongnya itu adiknya sendiri. Aku sangat membenci kakakku sendiri. Orang tuaku tidak pernah berbuat adil padaku dan kakakku. Yang selalu dia utamakan hanyalah kakakku, apapun itu, sedangkan aku? ingin sekolah pun tidak pernah didengarnya, dan hanya dipandang sebelah mata. Tapi setiap Arfian minta, meski itu hal yang sepele, orang tuaku selalu memberikan. Dengan itu Selalu ada rasa iri dalam hati, “mengapa aku yang selalu diperlakukan beda oleh mereka. dari awal aku lahir sampai sekarang bukan orang tua yang perhatian tapi Mbo, pembantuku yang selalu baik padaku. Dia sangat berjasa padaku.”

Jika harus ditanyakan tentang pribadiku, aku bukanlah anak nakal. Dan aku selalu menurut pada orang tua yang sama sekali tidak ada pedulinya denganku, dan pada Mbo, yang selalu peduli sama aku dan selalu mengajariku tentang ilmu agama. Sisi lain, meski aku tidak sekolah, aku selalu mencari-cari celah waktu untuk membaca buku-buku kakakku sewaktu dia pergi ke sekolah, kadang aku selalu di marahi ibuku jika aku ketahuan masuk ke kamar kakakku, tak heran.. pelit sama anak sendiri. Banyak tanya dalam hati yang selalu membuatku heran,

“apakah aku ini anak mereka atau hanya anak angkat? Dan mengapa untuk menuntut ilmu juga tidak boleh padahal sama anak sendiri? Dan apa mereka tidak mau melihat anaknya pintar? Apa harus cuma Kakakku saja yang sukses?”

Bila harus diingat, betapa  sakit hati ini. Namun aku coba untuk berlapang dada, karena mungkin ini takdirku yang harus seperti ini. Kakakku memang beda dengan orang tuaku, dia selalu diam-diam meminjamkan buku padaku. Dia emang baik padaku, meski kadang nyebelin juga. dan aku membencinya, namun benci dalam artian iri karena perlakuan orang tua terhadapku dan kakakku sangat jauh beda.

======================oOo======================

 

Malam itu dimulai dengan kambuhnya penyakit kakakku, yaitu ‘gagal ginjal’. Meski hujan deras, aku ditekan terus oleh kedua orang tuaku buat menggantikan pak supir pribadi ayahku, dan aku segera melaksanakan perintah mereka. dan segera mengendarai mobilnya. Hujan yang sangat deras membuat jalanan kami macet, kakakku semakin kesakitan.  Sedangkan jalannya penuh dengan air. Namun itu tidak berangsur lama, hanya sekitar 30 menitan. Perjalanan pun mulai normal kembali. Aku cepat-cepat membawa mobil.

Dan tiba di Rumah sakit aku belum apa-apa, langsung disuruh ibuku untuk mendonorkan ginjalku untuk kakakku, namun disana aku hanya diam keheranan. “Dulu, ginjalku, dan sekarang juga harus dengan ginjalku?” gumamku dalam hati.

Aku masih terdiam, ibuku langsung marah dan membentakku. “Apa kamu tuli? Ibu suruh cepat donorkan ginjalmu!”

“tapi bu, dulu aku sudah mendonorkan ginjalku pada kakak, mengapa tidak mencari pendonor lain?”  jawabku polos.

“apa kamu gak punya otak? Lihat kakakmu sudah sekarat seperti itu! Ibu lahirkan kamu hanya ingin mengambil ginjal kamu! Bukan untuk merawat kamu! Dan sekarang cepat kamu donorkan ginjalmu!” jawab ibu dengan bentak.

Aku terdiam serentak, dan berfikir. “Oh jadi itu alasannya? Hanya itu?”

“Apa kamu budeg ya Alfan?” Kata ibu padaku dengan membentak lagi.

“Baiklah ibu, Aku mau mendonorkannya.” Jawabku.

Ingin sekali menangis mendengar perkataan ibuku yang mampu berbuat seperti itu padaku, anaknya sendiri. “Daripada aku diperlakukan seperti ini, lebih baik aku tidak pernah lahir ke dunia, namun mustahil.. sangat mustahil.” gumamku dengan jatuhnya air mataku.

Aku langsung pergi ke ruang operasi untuk di ambil sisa ginjalku. “Dulu waktu aku berumur 5 tahun, kakakku mengambil ginjalku, dan sekarang juga sama.” Kejam… kamu memang kejam sama adik sendiri. Kakak dan orang tua sama saja, gak ada bedanya. Dengan berlari aku cepat-cepat menuju ke ruang operasi.  Namun sebelum aku sampai ke ruang operasi, kakakku sudah meninggal duluan. Aku menyesal karena tidak cepat-cepat tadi. Tidak lama kemudian, Ibuku memanggilku lalu menyalahkan lalu memanggilku  dengan “pembunuh yang tak disalahkan.”

Dengan rasa bersalah dan menyesal, ibuku menuntutku dan menyeretku ke dalam penjara lalu mengancamku dengan hukuman mati karena telah membunuh anak kesayangan mereka satu-satunya, karena aku hanyalah anak buangan yang dimanfaatkan mereka. Dan sekarang aku dipenjara karena keinginan kedua orangtuaku, dan aku sekarang harus dalam penjara yang penuh siksaan dan banyak dengan penyesalan. Dan kata tanya itu terjawab dengan meninggalkan gores dihati.

end  

[Tya Intan, santriwati kelas 1 jenjang SMA, Pesantren Media]

By Siti Muhaira

Santriwati Pesantren Media, angkatan kedua jenjang SMA. Blog : http://santrilucu.wordpress.com/ Twitter : @az_muhaira email : iraazzahra28@ymail.com Facebook : Muhaira az-Zahra. Lahir di Bogor pada bulan Muharram.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *