Loading

Suatu hari, teman-teman dekatku mengadakan agenda rutin – jogging di sebuah sport hole.Kami akan berkumpul di gerbang masuk utama, dengan palang besar bertuliskan Enjoy Your Day, Sport Everyday.

Seperti minggu-minggu sebelumnya. Setiap kali ada agenda bersama, aku pasti menggonceng Raka, karena ia tidak bisa mengendarai sepeda motor. Terlebih, rumahku dan Raka bersebelahan saja. Si Jangkung, Romi, yang rumahnya hanya berjarak beberapa blok dari rumahku, selalu mengajak ‘best couple-nya’, Dion, dengan CBR hijau terangnya yang kemaren baru dirombaknya habis-habisan. Dan kini berubah menjadi merah sangar. Sedang Reza, Kris, Tajo, dan Wildan selalu nebeng kepada Erik. Si cowok metropolitan yang bawaannya Fortuner putih nan gagah.

“Rob, Lo udah tahu belum, si Wildan naik jabatan. Parah tu anak! Serius pengen jadi Ustadz apa?” mulut Raka mengoceh sepanjang perjalanan. Tanpa sadar, aroma obat peninggi badan beraroma jeruk yang ia minum, menyeruak masuk ke dalam rongga hidungku.

“Lo yang parah! Udah SMA masih aja minum obat peninggi badan!” aku tetap fokus pada jalan raya yang terbentang di hadapanku. Masih sangat pagi untuk hari Minggu yang kebanyakan digunakan untuk melemaskan persendian, yang non-stop digunakan dari Senin hingga Sabtu.

“Frustasi gue, Rob! Gila, Cika susah amat didapetin. Dia enggak suka cowok pendek. Tai!”

“Istighfar, Ka.” Aku meniru-niru ucapan Wildan yang sering diandalkannya acap kali ada di antara kami yang berkata-kata kasar.

“Enggak usah sok ‘nge-Wildan’ deh, Lo! Kayak enggak pernah ngomong kotor aja. Tai!”

“Lo mencret!” gagal misiku hari ini untuk tidak berkata kasar. Semalam, aku baru dapat siraman rohani dari Mama. Bahwa setiap kata yang keluar dari mulut seseorang, akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Dan Raka, berhasil menjadi setan paling awal yang menggoda imanku.

“Eh, emang si Wildan naik jabatan jadi apaan?”

“Ketua rohis! Makin jadi idaman anak-anak tu cowok. Mampus!”

Aku mengangguk-angguk.

Makin besar rasa kagumku pada sosok yang satu itu. Meski pintar, tajir, dan gagah. Tapi imannya enggak pernah luntur sedikit-pun. Ibadahnya pol, enggak ada bolongnya. Dia adalah panutanku untuk belajar membenahi diri, yang hina ini. Meski bandel, seorang Robi juga ingin menjadi hamba yang taat kepada Tuhannya.

Tibalah aku dan Raka di pintu gerbang utama sport hole. Rombongan Erik telah stay di sana. Segera kami berdua turun dari motor, untuk bergabung dengan yang lain.

“Hoi! Udah dari tadi?” aku menyalami satu per satu manusia yang mayoritas mengenakan celana tanggung.

“Sampe berak di celana gua, nungguin kalian doang!” Tajo, anak yang paling hobi nge-gym nyeletuk asal. Aku duduk di samping Wildan yang mengenakan headset di telinganya.

“Assalamu’alaikum, ketua rohis”

Wildan melepaskan headsetnya, seraya menjabat tangku. Suara murotal Al-Qur’an bias dari kepala headsetnya.

“Wa’alaikumussalam. Sudah tahu tentang itu rupanya kau, Rob!”

“Raka selalu up to date tentang berita anak-anak, Dan.” Kami tertawa renyah.

“Berat, Rob. Rasa-rasanya, sekolah hanya memfasilitasi tapi tidak mendukung pergerakan rohis. Agenda-agenda keislaman juga dipersulit. Heran gue.” Wildan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Jalani aja dulu, Dan. Pasti ada hikmahnya.”

“Para Ustadz lagi ngerundingin apaan nih?” Romi dan Dion baru saja tiba. Mereka menyalami kami satu per satu.

“Udah lengkap semua kan? Let’s go!” Kris dan Reza berjalan paling depan dan paling bersemangat pagi ini.

“Rik, pagi-pagi udah sibuk aja sama gadget. Ngaji sekali-sekali.” Wildan menyenggol lengan Erik, yang sedari tadi disibukkan dengan gadgetnya. Aroma parfum pria yang dikenakan Erik menyebar kemana-mana. Aroma fresh adalah andalan laki-laki satu ini, untuk tampil segar setiap hari.

“Iya, ntar gua ngaji kalo diangkat jadi ketua rohis.”

“Ah, Lo! Jadi nyindir gue gitu.” Wildan tertawa kecil, sambil menepuk-nepuk punggung Erik.

“Anjas! Itu si Bambang bukan sih? Lagi sama siapa tuh anak?” Raka membeku di antara Tajo dan Reza. Serentak, mata kami tertuju pada pria hitam legam bergandengan dengan seorang perempuan kurus tinggi, dengan warna kulit yang bertolak belakang dengan Bambang.

“Anjing, itu si Cika!” ubun-ubun Raka sepertinya hampir meledak. Dia sudah lama sekali mendekati Cika, tapi belum juga ia mampu mendapatkan anak basket itu.

“Istighfar, Ka. Mulut Lo bakalan jadi saksi nyata di akhirat atas apa yang Lo katakan selama di dunia.” Wildan mendekati Raka yang wajahnya memerah, seraya menepuk-nepuk pundak sahabatku yang satu itu.

“Lagian, enggak ada anjing di sana, Ka.” Kris mencoba mencairkan suasana.

“Burung Perkutut adanya, Ka.” Reza menimpali lawakan Kris sambil menunjuk deretan penjual binatang hias.

“Emosi gue, Dan!” Raka menepis tangan Wildan di pundaknya, lalu ia berlari menghampiri Bambang dan Cika di seberang sana. Serentak, kami semua menyusulnya. Takut terjadi apa-apa antara Raka dan Bambang.

“Cik, Lo jadian sama cowok ini?” tatapan Raka tak lepas dari mata Bambang. Sedang Bambang menanggapi santai, laki-laki pendek di hadapannya itu. Sebagai teman yang paling dekat dengan Raka, salah satu kewajibanku adalah menjaganya. Dan saat itu aku berusaha menahan kepalan tangannya yang hampir melayang ke pelipis Bambang.

“Wey! Santai, Bro. Apa urusan Lo ngelarang Cika jadian sama gue?” Bambang membusungkan dadanya. Wajah Cika pucat pasi. Suasana sport hole menjadi tegang.

“Lo tahu kan, gue suka sama Cika dari kelas satu? Anjing Lo!” Raka menunjuk-nunjuk wajah Bambang.

“Ka, udah Ka! Enggak ada untungnya Lo berantem sama Bambang. Lo bakalan bonyok sama dia!” Aku berusaha keras menahan tubuhnya yang menegang.

“Lepasin gua, Rob! Kayaknya ni anak harus gue kasih pelajaran!” Raka mendorong keras tubuhku.

“Ya elah! Kalian kok pada melongo sih? Tahan tu Raka!”

Dengan gesit, Tajo yang postur tubuhnya sebelas-dua belas sama Ade Ray, menahan kepalan tangan Raka yang telah berhasil medaratkan sebuah pukulan keras di pangkal hidung Bambang. Tajo membawa kabur tubuh Raka yang memberontak tak karuan dalam gendongan Tajo. Sudah pasti Raka tidak mampu melawan dekapan Tajo yang badannya tiga kali lipat lebih besar dari tubuh Raka.

“Bawa pulang aja tuh anak! Nih, kunci motor gue!” aku teriak-teriak seperti ibu-ibu kecopetan, seraya melemparkan kunci motor pada Tajo. Tajo melesat membawa kabur Raka menjauh dari sport hole. Cika bergeming. Tatapannya fokus mengikuti tubuh Raka yang menjauh dibawa oleh Tajo dengan motorku.

Bambang bangkit sembari menahan darah yang keluar dari hidungnya. Tubuh kekarnya rupanya bisa kalah dengan satu kali pukulan dari Raka. Bambang menarik kasar lengan Cika, menjauh dari aku, Wildan, Erik, Reza, Kris, Romi dan Dion yang hanya bisa menatap kesal punggung Bambang yang menghilang di belokan depan sana.

***

Sebuah pagi yang begitu sunyi. Aku sudah siap berangkat sekolah, dengan seragam putih-abu-abu dengan motif kotak-kotak khas hari Senin-nya anak SMA Negeri Kebanggan. Mama menyiapkan roti telur dan secangkir susu putih ke hadapanku. Meski tergolong mampu, Mama lebih memilih menyiapkan dan melakukan apapun sendiri. Tidak mengandalkan pembantu rumah tangga, seperti keluarga mampu lainnya.

“Jagoan Mama udah rapi nih. Gitu dong, Rob. Enggak susah dibanguninnya.” Mama melahap roti telurnya yang sudah dilumuri sambal botol. Aku tersenyum sambil memperbaiki posisi jam tanganku.

“Gita mana, Ma? Tumben belum siap?”

“Dia tadi bangun kesiangan. Katanya, semalem tidurnya terlalu larut, gara-gara ngerjain tugas sekolah, sama bikin makalah… apa gitu buat acara osis.”

Aku mengangguk. Adikku itu memang termasuk salah satu siswi yang aktif di sekolahnya. Wajar, setiap weekend pasti ada saja laki-laki yang datang ke rumah untuk mengajaknya nge-date. Tapi, semuanya berhasil ia tolak dengan baik-baik. Setiap kali aku, Papa dan Mama bertanya mengapa ia selalu menolak laki-laki yang datang ke rumah, Gita hanya menjawab, “enggak masuk kriteria.”

“Papa mana, Ma?” aku menenggak susu putih yang membuatku merasa segar. Mama menggeleng. Air mukanya berubah.

“Ada apa, Ma?” aku mencoba menebak-nebak apa arti dari raut wajah Mama.

“Sudahlah, Rob. Tidak usah membicarakan tentang Papamu. Mama jadi tidak selera makan.” Mama menyapu bibirnya dengan sapu tangan kotak-kotak hijau-putih di dekatnya. Lalu beranjak menjauhi meja makan. Aku dapat merekam kegundahan dalam hatinya. Tapi, aku hanya bisa diam.

Sudah beberapa minggu terakhir ini, Papa meninggalkan rumah. Entah apa yang terjadi. Sepulang aku dari acara camping sekolah, Papa dan Mama terlihat tidak akur dan lebih banyak membisu. Gita, adik perempuan satu-satuku, juga tidak tahu apa yang telah menimpa kedua orang tua kami. Dia juga sedang ada acara camping di sekolahnya kali itu.

“Git, Lo udah siap belum? Berangkat bareng yuk!” aku mengetuk pintu kamar Gita yang berada di lantai atas.

“I’m ready!” Gita membuka pintu kamarnya. Tubuhnya yang ideal, telah siap sedia dibalut dengan seragam putih-putih. Wajahnya yang oval, begitu sepadan dengan kerudung putih bersih yang ia kenakan. Ransel hitam polos dengan merk Joy Surf, disangkutkan sekenanya pada pundak kirinya. Jam tangan polos berwarna pink susu melingkar pada pergelangan tangan kirinya. Setelah lulus SD, Gita memilih untuk melanjutkan bersekolah di SMP Islam terfavorit di kota ini. “Supaya jadi sholihah.” Katanya.

“Lo, udah sarapan?” aku mendahului langkahnya menuju pekarangan rumah.

“Bawa aja deh. Sarapan di sekolah aja. Ntar Lo telat.” Gita melirik arlojinya. Mama mengantarkan aku dan Gita sampai depan pintu rumah. Mama mencium kedua pipiku, begitu juga dengan Gita. Aku tidak pernah malu dengan rutinitasku ini. Bagiku, kecupan dari seorang Ibu adalah salah satu gambaran ridho orang tua yang patut dibanggakan. Setelah berpamitan, kedua anaknya ini menghilang di belokan kompleks. Berbarengan dengan deruan motor, yang dihadiahkan Papa di usiaku yang ke enam belas.

Satu kata yang selalu ku ingat setiap pagi dari beliau ialah, “jangan terlalu cepat besar. Mama selalu rindu masa kecil kalian. Tapi, jangan terlalu lamban menjadi dewasa. Mama tidak sabar melihat kesuksesan kalian.”

***

“Raka mana, Rob?” Kris menenteng buku Fisika di tangan kanannya. Aku menoleh ke arah bangku Raka yang hanya berjarak beberapa langkah dari bangkuku.

“Gue kira dia udah berangkat duluan. Gue tadi bareng Gita.”

“Lah, kenapa si Gita enggak diajak ke sini sih, Rob? Gue kan kangen.” Kris adalah salah satu fans berat adikku. Aku menampar pelan pipi kirinya.

“Jangan ngarep, Boy!”

“Hoi! Raka mana? Tega Lo ninggalin Si Kerdil sendirian kedinginan di tengah dinginnya dunia.” Tajo mulai ngalor ngidul. Aku duduk di atas bangkuku yang bersebelahan dengan Erik. Erik telah terlebih dulu hadir di kelas, dan masih sibuk dengan gadget dan headset yang ia sematkan di telinganya. Wildan tengah berdiri di samping Erik, lalu melepaskan headset dari telinga Erik.

“Ngaji, Rik. Dengerin musik metal mulu.”

“Ah, bawel Lo! Kayak anak cewek.” Erik memasukkan seperangkat alat gadgetnya ke dalam tas. Meski menyebalkan dan suka memberontak, Erik selalu kalah dengan Wildan.

“Hoi! Raka mana? Lo apain dia, sampe kagak masuk sekolah gitu?” Dion angkat bicara sembari menutup buku Fisikanya.

“Enggak tahu. Gue enggak bareng dia tadi berangkatnya. Rumahnya udah sepi gitu. Gue kira udah duluan.”

“Mungkin dia takut gua bikin mati!” pemilik suara berat dan nyaring itu, tengah berdiri di ambang pintu kelas. Mengisi ruang-ruang udara yang berpilin di atas kepala kami. Bambang memukulkan kepalan tangannya ke tembok. Suasana kelas menjadi senyap dan dingin. Tapi, batin kami terasa begitu panas.

Untuk urusan yang begini, Tajo yang paling berani menimpali Big Boss itu.

“Ah, bacot Lo! Kayak Burung Beo lagi mencret.”

Wildan menyikut Tajo. Peringatan yang bermakna: Istighfar, Jo.

“Raka enggak bakalan masuk sampe tahu depan. Takut mencret kalau lihat gue!”

Aku naik pitam, tapi aku memilih untuk menahannya. Rasanya, aku tidak terima sahabatku direndahkan di depan kelas seperti itu. Bambang berjalan ke tangah-tengah kami.

“Raka udah gue habisin semalem. Mampus tu anak! Badan kurcaci gitu berani ngelawan gue.”

Jantungku terasa tersulut api. “Raka udah dihabisin?” What meaning? Persendianku terasa menegang. Urat-urat tangan dan leherku menonjol.

Dan…

Sebuah pukulan keras melayang di kuping kirinya. Membuat Bambang ambruk dan kehilangan keseimbangan. Aku memukul keras-keras, satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali. Hingga Bambang tak berkutik. Ia tersungkur di lantai kelas dengan darah yang mengalir deras dari kuping kiri dan pelipisnya.

Bambang bangkit dan memberiku hantaman keras yang mengenai pangkal hidungku. Rasa ngilu begitu jelas terasa. Ia memberiku sekitar tiga pukulan tambahan yang mendarat di perutku. Darah segar muncrat dari mulutku. Dengan cepat aku melayangkan pukulan ke atas ubun-ubunya sebanyak empat kali. Bambang tumbang.

Aku mengatur nafasku yang naik turun. Jika Tajo tidak menahanku, mungkin sudah ku habisi Gorila Hutan di hadapanku itu. Wildan terus mengingatkanku untuk beristighfar. Berkali-kali Wildan mengingatkanku dengan khotbahnya.

“Robi, Lo kenapa? Setan udah berhasil menggoda iman Lo. Istighfar, Rob. Lo bakalan diminta pertanggung jawaban di akhirat. Lo ingat itu?”

Sekelibat bayangan Mama hinggap di dalam otakku. Tanganku masih mengepal keras, melihat Bambang yang terseok-seok keluar dari kelasku.

“Robi, ingat Allah! Ingat keluarga Lo! Betapa kecewanya mereka, kalau tahu Lo jago berantem di sekolah!”

Bayangan Mama tercetak jelas dalam mataku. Otot-ototku mengendur. Tajo memaksaku duduk di bangkuku.

“Astaghfirullahaladzim…” aku menutup mataku.

“Lo kenapa, Rob? Tiba-tiba jadi macan gitu?” Tajo menyodorkan sebotol air mineral kepadaku. Aku menegaknya dan masih terpejam. Aku menggeleng. Mencoba mencerna, mengapa tiba-tiba emosiku jadi meledak seperti itu.

Reza menyodorkan sebungkus coklat dengan wajah madesu (re: masa depan suram).

“Kata orang-orang, coklat cocok untuk memperbaiki mood.”

“Muka Lo yang cocok untuk memperbaiki mood. Kayak bencong Taman Lawang” Romi menjitak pelan kepala sahabatnya itu.

Sungguh beruntung, aku memiliki mereka.

***

Aku merasakan pusing yang sangat, serta ngilu di bagian tulang hidungku. Pukulan Bambang benar-benar keras, hingga membuat pandanganku berbayang-bayang. Aku telah tiba di pintu gerbang sekolah Gita. Beberapa anak-anak perempuan seumuran Gita menunduk malu-malu melihatku. Beberapa di antaranya menunjukkan wajah khawatir melihat wajahku yang lebam-lebam. Aku memasang tampang dingin.

“Bang! Lo kenapa?” Gita berdiri di belakangku sambil menenteng sebungkus bakso tusuk. Dia mengamati wajahku.

“Lo habis berantem ya? Gue bilangin Mama, Lo ya!” Gita mencubit lenganku. Aku meringis.

“Enggak usah dibilangin juga bakalan tahu, Gitong!” Gitong adalah panggilan sayangku kepadanya.

“Gita! Titip salam ya, buat abang Lo!” seorang gadis berkacamata dengan postur tubuh kurus-tinggi, dibalut dengan kulit putih mulus itu, sepertinya adalah salah satu fansku di sekolah Gita. Wajahnya sangat cantik. Tapi, sayangnya dia terlalu centil bagiku.

“Langsung aja salam ke Abang gue! Ngapain pake acara titip salam ke gue!” Gita malah sewot. Gadis cantik itu mendengus kesal, lalu tersenyum kepadaku.

Aku membalas senyumnya, dan dia langsung terkesiap. Lalu berlari masuk ke dalam halaman sekolah sambil loncat-loncat.

“Jibang, Lo! Udah bonyok gitu, masih aja tebar pesona di sekolah gue! Dasar Robeng!” begitu pula dengan Gita, dia punya panggilan khusus untukku: Robeng.

“Yuk ah, cabut! Gue lapar.”

Gita duduk di di belakangku. Tangannya melingkar, seolah kami sepasang kekasih. Aku hanya tertawa melihat ulahnya, untuk membuat teman-temannya cemburu.

“Jangan gangguin dia ya! Pacar gue nih!” Gita teriak-teriak sekenanya. Tak hanya teman-teman perempuannya yang cemburu. Tapi juga teman-teman laki-laki yang telah lama mengincar Gita. Tapi adikku ini cuek saja.

“Jangan galak-galak, Ta. Ntar, Lo susah dapat pacar lho!”

“Cowok cakep itu, yang langsung ngajak nikah. Bukan ngajak pacaran!” Gita kelihatannya memang tidak terlalu peduli dalam urusan pacar-pacaran. Baginya, kewajiban yang harus dilaksankannya sekarang ialah belajar sungguh-sungguh dan membanggakan aku, Mama dan Papa. Dan tentu saja, membanggakan agamanya yang menjadi dasar paling utama. Syukurlah! Aku tidak perlu takut kehilangannya terlalu cepat.

Jarak antara sekolah Gita dan rumah, sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi, setiap pulang sekolah aku selalu mengajaknya mampir makan es krim, pergi ke café, atau mampir ke toko bunga. Gita suka sekali bunga mawar. Tak jarang juga, ia minta antarkan ke toko buku untuk melengkapi koleksi novelnya yang menggunung.

Hari ini, adalah jadwalku dan adikku makan es krim di Dough-nuts. Sebuah cafetaria dengan akses wi-fi gratis untuk pelanggan tetap. Meski harus merogoh kocek agak dalam, tapi menu yang disajikan di Dough-nuts dapat memanjakan lidah penikmatnya.

“Eh, Mbak Gita sama Mas Robi udah datang. Mau pesan apa hari ini?” Mas Wawan, seorang pelayan café yang ramah dengan logat jawanya yang kental, menyodorkan daftar menu ke atas meja kami.

“Hmm… Gita pesan Glazzed Dough-nuts Triple Nuts. Minumnya Tiramissu Latte yang ice ya! Oh iya, Ice Cream Strawberry ditambah Chocolate Sauce dikasih Nut Caramel pake topping Blue Berry-nya satu!”

Mas Wawan mengangguk seraya mencatat pesanan adikku. Meski sering ke sini, aku selalu bingung memilih menu yang terpampang di atas daftar menu. Aku menggaruk-garuk pelipisku yang tidak gatal.

“Ah, lama Lo! Pacar Gita pesan Fish Glatted Sandwich, pakai Hot Mango Sauce ya. Minumnya, Lemon Tea yang warm aja. Hari ini, pacar Gita enggak pesan es krim, takut sakit gigi.”

Mas Wawan tertawa kecil melihat kelakuan kami. Aku geleng-geleng kepala mendengar pesanan Gita untukku. Mengapa ia selalu cepat menghafal menu-menu enak di sebuah café yang kami kunjungi.

“Oke! Mbak Gita pesan Glazzed Dough-nuts Triple Nuts, minumnya Tiramissu Late yang ice, ditambah Ice Cream Strawberry plus Chocolate Sauce dikasih Nut Caramel pakai topping Blue Berry. Pacar Mbak Gita, pesan Fish Glatted Sandwich pakai Hot Mango Sauce, minumnya Warm Lemon Tea.” Mas Wawan mengulang pesanan kami, lalu kembali ke dapur café.

Meski setiap minggu aku dan Gita rutin berkunjung ke café ini, orang-orang di sini belum tahu kalau sebenarnya kita adalah kakak adik. Mungkin, karena wajahku dan Gita tidak memiliki kesamaan, kecuali  pada bagian bibir yang sama-sama tipis.

“Ayo! Sekarang cerita! Kenapa bisa jadi bonyok gitu?” tak terasa, adik kecilku kini telah berubah menjadi remaja yang manis dan galak. Tak jarang, dia lebih terlihat sebagi kakakku karena sifat dewasanya. Agamanya yang lebih oke dari pada aku pun, patut diacungi jempol. Rasa sayangku kepadanya, hanya bisa ku tunjukkan dengan cara begini. Mengajaknya jalan-jalan sepulang sekolah.

Aku bercerita panjang lebar kejadian di hari Minggu dan kejadian di sekolah tadi, kepadanya. Dia menanggapi serius masalahku. Sesekali ia menanggapi enteng acap kali emosiku sedang meledak-ledak. Tapi, justu itu yang membuatku merasa nyaman bertukar cerita kepadanya. Karena adikkku ini terkesan santai, namun tetap memberi jalan keluar di setiap permasalahanku.

“Ah, Lo-nya aja yang lebay. Cuma masalah gitu doang sampai ribut. Diemin aja, ntar juga bakal anteng. Ingat ya, Bang, orang yang mengalah itu belum tentu kalah. Lebih baik, Lo kasih tau ke Bang Raka, cewek enggak cuma satu di dunia. Terlebih lagi, itu cewek enggak nutup aurat. Apa yang diperjuangin coba, sampe bonyok lahir batin gitu? Kasih tahu juga ke… siapa tadi namanya?”

“Bambang”

“Iya, itu. Kasih tahu, gimana hukumnya pacaran. Apalagi, dia anak osis. Sudah pasti, dia jadi salah satu panutan atau contoh bagi anak-anak lain. Tapi, kasih taunya baik-baik dan waktunya harus pas. Tunggu, sampai suasana antara Lo, Bang Raka, sama si Bambang tadi udah dingin.” Gita mengoceh panjang lebar. Dan pesanan kami, akhirnya datang juga.

“Wah, pasangan serasi kita makin klop aja nih! Lho, Mas Robi mukanya kenapa lebam gitu?” kali ini Mas Divan yang mengantar pesanan kami. Menurut Gita, Mas Divan adalah pelayan paling cakep yang pernah ia temui.

“Biasa, Mas. Dia habis bela-belain belahan hatinya yang digangguin orang.” Gita tersenyum jail. Mas Divan tersenyum kecut.

“Beruntung ya, Mbak Gita bisa dapetin Mas Robi. Andai saya…” Mas Divan mendekap mulutnya. Sepertinya ia merasa ada yang salah dari omongannya. Aku dan Gita mengerutkan dahi.

“Enggak, enggak. Enggak apa-apa.” Wajah Mas Divan bersemu merah menahan malu. Sepertinya, Gita kedatangan fans baru. Mas Divan cepat-cepat menurunkan pesanan kami dari baki yang dibawanya. Gita mencolek lengan Mas Divan dengan sendok stainless.

“Mau ngomong apa tadi?”

“Engg… Enggak jadi, Mbak.” Mas Divan buru-buru membalik badannya. Gita menarik bajunya.

“Mas, suka ya sama saya?” gadis kecilku ini memang hobi sekali membuat orang salah tingkah. Mas Divan kikuk. Wajahnya memerah.

“Engg… Kalau pun suka, saya enggak bisa apa-apa, Mbak. Kan, Mbak Gita udah jadi belahan hatinya Mas Robi.” Mas Divan tertunduk malu. Wajahnya berubah pusat pasi. Keringat dingin mulai bercucuran dari pelipisnya.

Gita tertawa lepas.

“Hahaha… Kalau jodoh enggak kemana kok, Mas. Tenang aja!” gadis manis itu melahap donatnya tanpa memperhatikan wajah Mas Divan yang berubah jadi kepiting asap.

***

Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku dan Gita asik menceritakan pengalaman di sekolah masing-masing. Memang selalu begitu. Entah, bagaimana bisa aku dan Gita bisa sedekat itu. Padahal semasa kecil, aku adalah musuh bebuyutan Gita yang sangat ia benci. Tanpa terasa, umur lah yang membawaku dan Gita menjadi sangat akrab.

Kami memasuki areal jalan yang sangat sepi.

Sebuah motor besar menghalangi jalan yang kami lewati. Sepertinya, si pengendara sengaja memarkirkan motornya di tengah jalan. Memaksa kami agar berhenti. Seorang laki-laki berperawakan besar, kulit hitam legam, dengan otot-otot besar yang menonjol di bagian tubuhnya, berjalan menghampiri kami. Gita berbisik,

“Temen Lo, Bang?”

Aku menggeleng. Kaca helmnya yang gelap, menutupi wajahnya. Hingga aku masih belum tahu pasti, siapa pria tersebut. Tapi, dari perawakannya aku sedikit mengenal siapa dia. Aku menurunkan standar motorku, dan menyuruh Gita untuk menjauh. Gita hanya turun dari motor, dan menolak untuk menjauh dariku.

“Istighfar, Bang. Ingat Allah. Ingat Mama. Ingat Papa.” Adik perempuan kesayanganku itu berulang-ulang mengucapkan itu. Mungkin, dia melihat amarahku hampir meledak. Tapi, medengar ucapan Gita. Amarahku seolah menghilang.

Sebuah hantaman super keras mendarat ke perutku. Aku terbaring di atas aspal yang panas. Gita berlari menghampiriku. Tapi sayangnya, sebuah helm berwarna putih sengaja di lempar hingga menghantam kuat wajahnya. Gita tersungkur. Bibirnya sobek dan berdarah.

Aku memalingkan pandanganku dari Gita. Dan aku dapati wajah Bambang menghiasi pandanganku kali itu. Amarahku kembali tersulut api. Mengingat apa yang telah ia lakukan kepada Raka dan Gita. Aku berdiri menahan sakit pada perutku.

Aku melepas helm-ku dan memukulkan berkali-kali ke pelipis dan batok kepalanya. Bambang tersungkur di hadapanku. Darah segar berhamburan kemana-mana. Wajah Bambang bersimbah darah. Aku melompat setinggi-tingginya, lalu dengkulku mendarat di perutnya.

Kekasih Cika itu mengerang menahan sakit.

Sayangnya, aku kurang cepat menarik lututku dari tubuhnya. Dengan gesit, Bambang menarik kakiku hingga tulang tengkorak bagian belakangku menghantam keras aspal yang aku pijak. Entah sejak kapan Gita berdiri di belakang Bambang yang meringis melihatku. Ia menghantamkan sebuah batu besar pada tengkuk Bambang.

KRAK!

Tulang tengkuk Bambang patah seketika. Ia mengerang tak karuan di atas aspal. Mulutnya mengeluarkan ribuan kata-kata kasar. Gita ternganga melihat apa yang telah ia lakukan. Dan aku tahu, ia mendapat goncangan atas apa yang terjadi di depan matanya kali itu.

That is right, Gita. Kamu enggak melakukan sesuatu yang kriminal. Kamu hanya berusaha untuk bertahan hidup!” Aku mencoba menenangkan Gita yang masih kaget dengan apa yang barusan ia lakukan. Aku berusaha bangkit, untuk menenangkannya. Tubuhnya bergetar hebat. Tubuhnya menegang dan berubah dingin.

Aku terseok-seok menghampiri adikku. Sebuah cengkraman kuat menahan langkahku. Bambang masih belum mengalah. Dia kembali menarik tubuhku hingga beberapa bagian bajuku sobek. Kepalaku kembali menghantam aspal. Aku rasakan pelipis dan tengkukku mengeluarkan cairan, yang membuat bagian wajahku bersimbah darah. Pandanganku berbayang-bayang. Kesadaranku seperti di ambang kematian.

Gita berkali-kali menyikut kuat-kuat kuping kanan Bambang, hingga pria itu tak sadarkan diri. Gadis kecilku kini menjadi pemberani meski ia masih terguncang. Ia menghampiriku sambil menangis.

“Tega banget Lo bikin gue jadi berandalan gini! Ayo, pulang! Gue bakalan bilangin Lo ke Mama! Biar duit jajan Lo, buat gue!” gadis dengan kerudung putih yang kini banyak bercak darahnya itu, mencubiti lenganku. Dia benar-benar marah dan menangis. Aku tahu dia sangat takut. Takut sekali. Benar-benar takut. Sungguh-sungguh takut.

“Gue enggak bisa berdiri, Ta. Telpon Mama aja. Minta tolong jemput di sini.”

Gita menggeleng kuat-kuat.

“Enggak! Lo harus tanggung jawab! Lo harus antar gua sampai rumah! Lo harus bangun!” baru kali ini aku melihat adikku yang satu itu menangis sedemikian rupa. Haru menyeruak masuk ke dalam batinku. Pandanganku dihalangi dengan air mata. Wajah Gita seolah menghilang bersama pandanganku yang meredup.

“Jangan sok pingsan! Gue enggak punya pulsa buat telpon Mama! Ayo, anterin gue!”

Maaf membuatmu jadi takut begini, Gita.    

***

Aroma karbol dan obat-obatan memenuhi rongga dadaku. Aku sadar, kini aku telah dirawat secara intensif di rumah sakit. Kepalaku rasanya tidak bisa digerakkan. Perban putih menambal bagian tubuhku dimana-mana. Dingin sekali di sini.

Aku mendapati Papa dan Mama duduk pada sofa di hadapanku. Sedang Gita, sedang mengganti isi vas bunga dengan Mawar merah kesukaannya. Tatapannya kosong. Bibirnya pucat pasi. Aku berusaha memanggil namanya, namun suara itu tidak juga keluar dari kerongkonganku yang terasa kering.

Gita berlalu begitu saja tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Apa ia sangat marah kepadaku? Atau, dia sudah tak ingin lagi menganggapku sebagai kakak kandungnya?

Aku menangis tanpa suara. Aku menyesali, benar-benar menyesali keputusan yang ku ambil untuk menghabisi Bambang. Karena dengan itu, aku takut akan kehilangan Gita. Papa dan Mama sepertinya tak menyadari pergerakanku. Aku terus berusaha memanggil mereka, namun tak ada secuil suara pun yang keluar dari mulutku. Aku mencoba menggerakan tubuhku. Tapi, seolah tubuhku terasa kaku.

Aku merasa sangat takut.

Aku mendengar isak tangis Gita di sebelahku. Kapan ia kembali di sisiku? Bukankah tadi ia telah keluar kamar rumah sakit?

Dengan jelas aku merekam wajahnya yang tak hangat seperti biasanya. Ingin sekali aku menghapus air matanya. Namun, untuk menggerakkan salah satu jariku pun aku tak mampu.

“Bang, bangun, Bang! Tega banget Lo ninggalin gue!” Gita sesenggukan memandangi wajahku. Apa dia tidak sadar, bahwa kini aku telah membuka mataku dan sedang menatapnya. Gue sudah sadar, Gita!

“Capek gue nangisin Lo! Buka mata Lo, Bang. Bosen gue nangisin Lo tiap hari!” adik perempuanku itu menangis hingga tergugu. Berkali-kali aku me-merem-melek-kan kedua mataku. Tapi, Gita seolah tidak sadar bahwa aku kini telah bangun dari pingsanku.

“Hoi!”

Suara cempreng milik Romi itu mengagetkanku. Aku terbangun. Aku tertegun melihat ruangan rumah sakitku tiba-tiba sesak dengan para alien-alien kebangganku. Aku takut mereka tak sadar bahwa aku sudah bangun. Aku merem-melek kembali agar mereka tahu, GUE SUDAH SADAR!

“Kenapa Lo merem melek? Kelilipan?” Erik mengabadikan wajahku dalam Iphone-nya.

“Mimpi dikejar bencong, Lo? Sampai nangis gitu?” Tajo, si Ade Ray KW asal jeplak seperti biasanya.

Aku lega se-lega-lega-nya. Bahwa sekarang, kini aku benar-benar sudah sadar.

“Apa kabar, Rob?” Wildan mengenakan baju koko coklat dan peci yang warnanya sepadan dengan baju kokonya.

Sedetik kemudian pandanganku dipenuhi dengan wajah Erik, Tajo, Wildan, Reza, Kris, Romi, dan Dion.

“Raka?” aku mulai mengkhawatirkan sahabatku yang satu itu.

“Udah. Tenang aja. Raka udah sembuh kok. Sekarang lagi cari makanan buat kita-kita. Sementara, Lo belum bisa makan Nasi Goreng Kuli langganan kita dulu ya.” Wildan menepuk-nepuk bahuku. Rasanya, aku tak bisa menahan rasa haru yang menyeruak di dadaku. Air mata seketika menggenang di pelupuk mataku. Sungguh beruntung aku memiliki mereka. Sungguh beruntung.

“Njir, nangis ni anak!” Raka menghambur ke atas tempat tidur pasien yang aku tiduri. Tubuhnya yang mungil, tidak jadi masalah untuk sekadar numpang duduk. Aku mengamati wajahnya yang penuh dengan lebam bekas hantaman keras.

“Istighfar, Ka…” Serentak semua manusia di dalam ruanganku, mengucapkan kalimat andalan Wildan. Tawa kami pecah, mengisi ruang kosong di antara kami.

“Masih hidup, Lo?” suara itu. Gadis kecil kesayanganku.

“Kok gitu sih ngomongnya sama pacar?” aku melirik Kris yang membeku ketika mencium kehadiran Gita.

“Mulai sekarang kita putus! Lo bukan pacar gue lagi!” bekas luka sobekan di bibirnya masih lebam dan merah. Dia mencubiti pipiku berkali-kali. Aku menariknya dan menyentuh lukanya.

“Sakit!” dia menepis tanganku. Rupanya ia masih jual mahal kepadaku.

“Maaf ya, Git.” Aku tersenyum getir. Gita melunak lalu perlahan tersenyum.

“Yayaya, asal Lo teraktir gue es krim, dan ganti semua mawar yang gue beliin buat ngisi vas bunga ruang kamar rumah sakit Lo selama tiga minggu! Jangan lupa novel keluaran terbaru tiga biji!”

“Gue serius, Git… Eh, emang selama itu gue pingsan?”

“Lo pikir gue becanda? Mama sama Papa masih dalam perjalanan. Untung mereka enggak jantungan pas tahu Lo masuk rumah sakit. Tapi, ada hikmahnya juga sih, Bang. Mama sama Papa jadi akur lagi.”

Aku tersenyum seraya menyubit pipinya. Dia tertawa kecil.

“Si Bambang udah ditangkap polisi, Bang. Berkat bantuan gue, Lo selamat kan?”

“Atas tuduhan apa dia bisa ditangkap?”

“Bukan tuduhan, Rob. Justru bukti, kalau dia sering melakukan kekerasan sama orang-orang yang tidak bersalah. Geng berandalnya itu, emang udang jadi buronan dari dua tahun yang lalu.” Kris menimpali ucapan adikku. Mungkin, itu cara agar mendapatkan empati dari gadis yang sudah lama jadi pujaan hatinya itu.

“Dan kabar paling gembiranya, dia putus sama Cika!” Raka menjitak pelipisku. Aku meringis menahan sakit.

“Eh, sori sori. Gue spontan, nih! Seneng banget gue, Rob.”

Gita berdehem lalu melirik aku dan Raka secara bergantian. Aku ingat pesannya untuk memberi tahu Raka ketika di Dough-nuts beberapa minggu yang lalu.

“Sebaiknya jangan senang dulu, Ka.” Aku tersenyum jail.

“Why?”

“Karena, selama ada Robi dan Wildan, Lo bakalan digentayangin sama ni anak dua, supaya enggak boleh pacaran.” Reza menyematkan sebelah headsetnya di kuping kanannya.

“Udah jelas pacaran itu dilarang agama. Lo kan orang Islam, jangan cuma berani ngaku-ngaku orang Islam kalau Lo enggak mau terikat dengan hukum yang ada di dalamnya. Dan sebagai sahabat sekaligus tetangga Lo, gue wajib bikin Lo senang sampai akhirat.” aku menimpali ucapan Reza.

“Lagian, cowok cakep itu yang berani ngajak nikah. Bukan ngajak pacaran!” Gita nimbrung sambil membawa buah-buahan segar di atas baki yang dibawanya. Kris tersedak mendengar ucapan Gita.

“Kenapa, Kak Kris?” Gita mengerutkan dahi. Aku tahu dia sedang salah tingkah. Pupus sudah harapannya untuk mendekati Gita, karena adikku sama sekali tak ingin berpacaran. Suasana menjadi menggelikan ketika wajah Kris berubah jadi tomat busuk.

“Tapi, kalau ntar si doi keduluan yang lain gimana?” Dion akhirnya angkat bicara, setelah sibuk memetik gitar coklat kebanggannya.

“Yang namanya jodoh, enggak ada istilahnya keduluan. Kalau memang si doi sudah didapatkan sama yang lain, berarti dia bukan jodoh kita. Dan pastinya, siapapun jodoh yang akan kita dapati nanti, pasti itu yang terbaik karena semuanya sudah diatur sama Allah. Enggak usah repot cari pacar, apalagi sampai berantem cuma gara-gara si doi.” Wildan melirik Raka sejenak.

“Yang penting, sekarang kita jalani dulu kewajiban kita sebagai pelajar. Banggakan kedua orang tua, dan yang terpenting buat bangga Allah dan agama. In sya Allah, kenikmatan dunia akan membuntuti kita.” Si ketua rohis selalu menjadikan teman-temannya sasaran empuk untuk mendengarkan nasihatnya. Sesuai dengan motto hidupnya: Kapan saja, dimana saja. Dakwah enggak ada matinya.

Aku tersadar, salah satu di antara kami ada yang wajahnya bersemu merah. Manusia satu-satunya yang paling cantik di antara kami. Sesekali ia melirik Wildan ketika si ketua rohis itu berkhotbah.

“Akhirnya, Lo jadi dewasa, Ta!” adikku itu menunduk malu dan kabur dari ruang rumah sakit. Aku rasa, Wildan pantas menjadi adik iparku.

Maafin gue ya, Kris![] [Noviani Gendaga, santriwati Pesantren Media, kelas 3 SMA, angkatan ke-2]

 

By noviani

Noviani Gendaga | Santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, kelas 3 | Asal Samarinda, Kalimantan Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *