Loading

Parung. Sebuah tempat yang kini telah menjadi tempat menimba ilmu bagi santri Pesantren Media. Tepatnya di Kampung Sawah Tajur, Desa Pemagarsari. Dan tahun ini, Pesantren Media telah resmi meninggalkan tempat yang lama, dan memulai lagi lembaran yang baru di tempat yang baru. Semoga, dengan tempat kami yang baru ini, kami mampu belajar dan beramal dengan lebih baik.

Hari ini hari Sabtu. Tanggal 23 Juli 2016. Hari ini adalah acara penyambutan santri baru tahun ajaran 2016. Acara dimulai pukul 08.00 dan diakhiri sekitar pukul 11.30 dengan makan siang sebagai penutupnya. Namun bukan acara ini yang ingin kuceritakan. Yaitu, sebuah perjalanan yang sangat menguji kesabaranku.

Rencananya, hari ini aku akan menjemput temanku, Amilah, yang tiba di Jakarta hari ini. Aku akan menjemputnya di Terminal Bus Damri di Baranangsiang. Aku berangkat sekitar jam 2 siang. Setelah sebelumnya berganti-ganti rencana keberangkatan, akhirnya aku berangkat sendiri. Sekalian, aku ingin mencoba pergi ke kota menggunakan angkutan kota. Begitu pikirku.

Aku keluar ke jalan raya Parung di antar Abdullah dengan motor pinjaman dari Ustadz Ahmad. Setelah itu, aku menyetop angkot 06. Karena baru pertama kali, sebelum naik aku bertanya kepada supirnya, “Ke Stasiun, nggak?”. Ketika diiyakan, baru aku masuk. Aku tanyakan kepada supirnya, “Berapa ongkos sampai Stasiun?”. Katanya, “Rp. 7.000”. setelah itu aku baru menyadari, ternyata jarak dari Parung ke Bogor kota itu sangaaaat jauh.

Setelah duduk dengan lama di angkot 06, akhirnya aku turun di dekat terminal Merdeka. Setelah itu, aku memasuki angkot 03 menuju Baranangsiang.

Yang paling aku tidak suka adalah saat angkot itu ngetem. Ngetem adalah ketika angkot berhenti dan menunggu penumpang. Biasanya ketika angkot-angkot ngetem, jalanan di sekitar angkot itu pasti macet. Angkot yang aku tumpangi ini, berhenti dan ngetem di depan stasiun. Sudah bisa dipstikan, jalan raya di depan Stasiun Kota Bogor sangatlah padat. Di saat itu pula, matahari tengah panas-panasnya. Di dalam mobil besi itu, aku dan penumpan lain berkali-kali menghapus peluh kami dengan tisu. Wah, rasanya benar-benar dipanggang.

Setelah angkot sedikit penuh, barulah ia kembali berjalan. Alhamdulillah, akhirnya ada angin juga. Sehingga tidak terlalu panas lagi. Baru sesaat, aku langsung melihat awaln tebal menggantung di langit Kota Bogor. Jam tanganku telah menunjukkan jam setengah 4.

Kemudian hujan turun perlahan. Awalnya hanya rinai-rinai hujan yang turun. Namun semakin lama, jumlah air yang turun semakin banyak. Amilah memberitahuku bahwa bus damri yang ia tumpangi sebentar lagi memasuki Kota Bogor.

Akhirnya aku turun di depan Terminal Bus Damri. Karena hujan, aku langsung berlari masuk ke dalamnya. Aku berkali-kali menepon Amilah karena aku tak kunjung bertatap wajah dengannya. Suasana di tempat pemberhentian saat ini memang sangat ramai. Apalagi dengan turunnya hujan yang membuat banyak orang berteduh di tempat ini juga.

Akhirnya kami bertemu dengan panggilan masih terhubung. Kami pun sama-sama tertawa dan menutup panggilan itu. Aku membantu Amilah membawakan barangnya. Di luar sana masih hujan. Aku sempat berpikir untuk menyewa taksi. Namun aku tidak tahu berapa tarifnya. Yang jelas pasti lumayan menguras kantong umiku nanti.

Karenanya, aku memutuskan untuk menaiki angkot saja. Walau pun dengan bawaan besar dan berat. Kami langsung menaiki angkot 03. Sebelum memasuki angkot, aku berpikir jalur apa saja yang akan kami lalui. Angkot 03 adalah rute menuju Terminal Bubulak. Berarti kami harus berganti angkot dua kali lagi.

Waktu sudah menunjukkan waktu Sholat Ashar. Aku kembali berpikir rencana untuk berhenti di suatu tempat untuk sholat. Aku memutuskan kami akan berhenti di sebuah masjid di dekat Terminal Laladon.

Namun tidak sesuai rencanaku, angkotnya berhenti sebelum masjid itu. Wah, kalau hanya berjalan kaki sih mudah saja. Tapi karena kami membawa barang yang berat, dan kondisinya sedang hujan, maka kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dulu. Mudah-mudahan kami sampai di rumah sebelum Maghrib.

Selanjutnya kami menaiki angkot 32 setelah aku membeli air mineral. Saat duduk di angkot adalah saat beristirahat kami. Kami duduk di pojok kendaraan agar memudhkan menyimpan barang kami. Sambil mengobrol dan menyandarkan tubuh, aku mengecek peta di ponselku. Wah, jalur yang akan kami lalui ada jalur yang berwarna merah di beberapa tempat. Warna merah pada jalur tersebut menandakan bahwa jalur itu sedang padat dan mungkin macet. Aku bertawakkal saja kepada Allah.

Kami menyetop angkot di perempatan menuju Yasmin. Kemudian kami menaiki angkot 06 jurusan Parung. Perjalanannya akan lumayan panjang. Setelah menyimpan koper di pojok angkot, kami duduk dan mencoba beristirahat kembali.

Di tengah perjalanan, volume air yang turun semakin menjadi. Hujan menjadi sangat deras. Aku mengirimkan sms kepada umi untuk menjemput kami di depan jalan nanti. Hujan sangat lebat dan jalanan menjadi banjir. Tidak tinggi seperti banjir di Jakarta, tapi cukup membuat baju kami menjadi basah.

Kami turun di depan jalan. Aku mengangkat koper Amilah di depan perutku. Memang berat. Namun aku sudah terbiasa mengangkat barang berat. Aku pernah menurunkan container-ontainer penuh berisi buku dari tangga rumahku yang sempit dan melingkar. Karena itu, koper ini terasa lebih ringan dan mudah.

Kami berteduh di masjid. Azan Maghrib telah berkumandang. Namun jilbabku suda basah sampai ke lutut. Kami tidak bisa masuk ke dalam masjid. Apalagi aku harus menyeberangi air yang setinggi pahaku untuk menemui umi yang melewati masjid. Setelah meminta umi untuk memutar mobil, kami akhirnya masuk ke dalam mobil dan membuat bagian dalam mobil menjadi berair. Tapi aku lega karena ini adalah akhir dari perjalanan kami. Hujan sore ini lebat sekali. Sampai menyebabkan air yang deras sampai ke lutut tadi. Sepatu Amilah bahkan terseret air dan ia harus mengikhlaskannya karena aku yakin, sepatu sandal ringan itu pasti sudah hanyut ke jalan raya.

Perjalanan kali ini mengajarkanku tentang arti kesabaran. Setiap ujian yang datang harus kuhadapi dengan tawakkal kepada Allah. Walau pun ketika siang aku tak henti-henti menghapus peluhku yang terus menerus mengalir, walau pun ketika sore tubuhku kehujanan dan bajuku kuyup setengahnya, kalau aku bersabar dan bertawakkal, Insya Allah semua tidak terasa berat.

Perjalanan ini mungkin akan terlupakan oleh kejadian-kejadian yang lebih besar di kemudian hari nanti. Namun aku percaya, jika aku membaca tulisan ini kembali, kenangan itu akan mucul lagi dan membuatku tersenyum mengingatnya.

 

[Fathimah NJL, Kelas 2 SMA, Pesantren Media]

By Fathimah NJL

Santriwati Pesantren Media, angkatan ke-5 jenjang SMA. Sudah terdampar di dunia santri selama hampir 6 tahun. Moto : "Bahagia itu Kita yang Rasa" | Twitter: @FathimahNJL | Facebook: Fathimah Njl | Instagram: fathimahnjl

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *