Loading

Pagi yang cerah, awal aku masuk ke kelas sembilan. Dan pelajaran pertama hari ini adalah IPA. Itu yang membuat aku merasa bahwa hari senin adalah hari yang amat menyeramkan. Bukan karena aku tidak menyukai pelajarannya, tapi karena aku takut dengan gurunya. kenapa aku takut, itu karena dia kalau ngomong atau mengkritik orang amat menyakitkan.

Kelas dimulai. Aku berusaha menata penampilan dan sikapku agar tidak terlihat konyol di mata dia. Dan agar aku tidak di tegur. Hai, guru ini memang pemerhati yang baik. Hal sekecil apapun yang tidak pas di hatinya maka dia akan selalu menegur. Aku tidak tahu itu hal yang baik atau tidak untukku. Karena, aku merasa sangat tertekan. Aku pernah ditegur bahkan dipanggil ke ruangannya. Hanya karena aku masih memakai tiket gelang Jatim Park, aku dimarahin habis – habisan.

“Kamu itu sebagai seorang perempuan, harus menjaga penampilanmu. Masak begituan dipakai.” Dengan intonasi yang agak tinggi dan pandangan yang sinis. Aku melihat gelang di tanganku. Apa yang salah. Tidak merusak penampilanku.

“Kenapa harus memakai gelang itu? Pamer? Yang lalu, biar berlalu. Kamu nggak perlu pakai itu untuk menunjukkan ke teman – temanmu bahwa kamu telah berlibur ke Jatim Park.” Aku mulai panas mendengar kata – kata ‘pamer’ dari mulutnya.

“Saya sama sekali tidak ingin pamer, Ustadzah.”

“Lalu untuk apa kamu masih memakainya?”

“ya nggak pa – pa. Saya hanya untuk main saja.”

“Main apa?” nadanya semakin meninggi. Aku tak menggubris kata – katanya. Berpaling menatap yang lain. Muak sekali aku melihat mukanya yang sok ganas itu.

“HEII!! Kamu dengar tidak apa yang saya katakan?” Dia semakin melotot ke arahku. Aku semakin malas meladeninya.

“Kamu itu kenapa ya, selalu saja tidak mengenakkan kalau diajak ngomong? Sekarang kamu lepas dan buang gelang itu ke sampah. Lepas di depan mata saya, SEKARANG!!!”

Aku langsung melepas gelang di tanganku dengan kasar dan meremasnya, meletakkan gelang itu di atas mejanya, agar dia puas. Setelah mengucapkan salam, aku langsung keluar ruangannya.

Aku kembali fokus, guru itu sudah ada di depan kelas sekarang. Aku menghela napas. Dia memulai pelajarannya. Fisika. Itulah pelajaran sekarang. Aku dari dulu tidak suka dengan pelajaran hitung – menghitung. Dan sekarang, aku harus diajari dengan pelajaran dan guru yang sadis untukku. Betapa malang nasibku.

Setelah menjelaskan singkat, dia langsung mulai ulangan harian. Lima soal aku kerjakan dengan apa adanya. Sejujurnya aku tidak paham dengan penjelasannya. aku hanya paham tentang soal essainya saja. Jadi aku kerjakan sebisaku saja. Setelah semuanya telah mengerjakan, kami akan mengoreksi jawaban masing – masing. Aku sudah menduga kalau nilaiku akan kecil sekali. Ustadzah melihatku dengan pandangan sebal. Aku tak menanggapi pandangannya itu. Anak – anak yang belum tuntas nilanya disuruh remidi ke ruangannya. Aku mendengus sebal.

Esoknya, aku langsung ke ruanganya untuk menuntaskan nilaiku. Aku sudah belajar, bahkan mengahapalkan rumusnya. Setelah tersenyum ramah padanya, aku langsung menyatakan niatku datang ke ruangannya. Dia megangguk dan memberikanku selembar kertas. Aku mengamati setiap soal. Aku menelan ludah. Soal ini semuanya hitung – hitungan. Dan soal ini beda dengan yang kemarin. Aku menghela napas, berusaha tenang. Aku mengerjakan sebisanya. Setelah selesai, aku menyerahkannya pada ustadzah. Ustadzah meneliti jawabanku. Tersenyum sinis meihatnya. Aku diam. Jantungku berdebar kencang.

“sSilahkan keluar?”

Aku tercengang. Keluar?

“Hasilnya ustadzah?”

“Kamu tuntas!”

Aku terkejut. Menatap ustadzah tak percaya. Bagaimana bisa aku tuntas. Sedangkan aku sama sekali tak menghitungnya dengan rumus. Aku hanya menghitungnya dengan nalar.

“Tasya, ustadzah tahu kamu tidak mahir dalam berhitung. Jadi ustadzah berusaha mengerti. Ustadzah menghargai usaha kamu yang lebih dulu menuntaskan remidi. Daripada teman kamu yang lainnya, yang hanya menanti teman yang lain untuk hadir ke ruangan saya. Saya mengerti mereka takut dengan saya. Tapi kamu juga nggak kalah takut sama seperti mereka kan? Tapi kamu bisa datang ke ruangan saya dan mengejutkan saya dengan keberanian kamu. Nah, sebagai hadiah atas keberanian kamu, ustadzah membebaskan kamu dari remidi ini. Lagipula, jawaban esai kamu bagus dan tepat.”

“Kalau ustadzah sudah tahu kalau saya lemah dalam menghitung, Ustadzah justru memberikan saya seluruh soal fisika?”

“itu karena saya ingin kamu berusaha dan tidak pasrah begitu saja atas kekurangan kamu. Jadikan kekurangan sebagai tantangan.” Ustadzah tersenyum. Wajah ganasnya hilang seketika. Dan hatiku terasa sangat dingin dan lega. Aku ingin menangis haru. Aku merasa bersalah karena sering berprasangka buruk padanya. Aku menyalami tangannya. Aku keluar masih dengan perasaan bersalah. Aku sekarang sadar. Guru perhatian, karena sayang. Walau itu berlebihan.

Sejak saat itu, aku berusaha untuk hormat dan mengerjakan tugas dengan baik semampuku. Tak ada dendam atau muka masam untuk guruku lagi. Aku akan berjuang keras demi mereka, orang – orang hebat yang amat berjasa bagiku.

 

Natasha

By Fathimah NJL

Santriwati Pesantren Media, angkatan ke-5 jenjang SMA. Sudah terdampar di dunia santri selama hampir 6 tahun. Moto : "Bahagia itu Kita yang Rasa" | Twitter: @FathimahNJL | Facebook: Fathimah Njl | Instagram: fathimahnjl

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *