Loading

 

DIsini, diatas gedung berketinggian 400 meter dari permukaan bumi, aku berdiri. yaa, disini dusut gedung yang berbentuk segi empat aku menatap. Menatap kebawah menyaksikan keramaian malam dan menatap kedepan menanti matahari bangkit dari kegelapan.

Namaku Rio , seorang perantau dari Medan. tujuan utamaku merantau ke Jakarta ini bukan untuk menjadi orang kaya, melainkan mengejar impian. yaitu,  Menjadi seorang Tukang Cukur.
mungkin kalian meremehkan impianku ini.Tapi tak apa, aku akan senang menunggu, menunggu perkataan kalian yang kedua setelah mendengar kisah hidupku.

Inilah kisahku.

Aku adalah seorang anak tunggal, ayah dan ibuku meninggal ketika aku menduduki jenjang pendidikan SMA, dan sekarang aku dirawat oleh paman dari ayahku, Keadaan ekonomi keluarga pamanku sangat memprihatinkan. jangankan untuk jajan, untuk pangkas rambut saja keluargaku berhutang.

Aku terkenal anak yang bodoh di tempatku. Bukan karena nilaiku yang buruk, tapi karena impianku. Teman, guru, Tetangga dan keluargaku sekalipun menertawakan impianku ini. yaitu,
Menjadi Tukang Cukur. Semua caci dan tawa mereka tidak pernah aku abaikan, tetapi semua itu aku alihkan menjadi sebuah dorongan, dorongan agar aku segera mewujudkan impianku ini. mereka mungkin berfikir hanya apa yang biasanya orang lakukan saat menjadi tukang cukur. Berapa modalnya, dan berapa penghasilannya. Semua itu seakan membuatku untuk merubah cara pandang mereka terhadap profesi impianku, maka dari itu aku harus segera mewujudkannya!

Suatu hari aku terkejut akan suatu kejadian yang membuatku berfikir keras tentang impianku. Aku melihat paman dari ibuku pulang merantau dari Jakarta membawa raut wajah yang sangat kusut.
Namanya adalah Reno. Seorang sarjana S1 dari Universitas Sumatra Utara ini duduk di sofa rumah ku sambil mengusap wajahnya. Ia terlihat letih, segera aku mengambil secangkir air putih untuknya.

“Setelah SMA, mau masuk mana kau Rio?” tanya pamanku sambil memegang cangir untuk diminum. “entah lah tulang Reno, aku belum berfikir kesana tulang.“ jawabku sembari duduk menyederkan badan di sofa depan pamanku. “Lantas, bagaimana tulang di Jakarta? kerja apa tulang disana? mudahkah disana tulang? lanjutku sambil menatap pamanku serius. “wah,,  mungkin tulang ini adalah salah satu dari sekian banyak sarjana lainnya yang menjadi pengangguran. masih bersyukyur  aku diberi umur untuk berjuang hidup. taqdir tulang memang kejam kali, dan gelarpun tak dapat mengubah taqdir.” ujarnya sambil menundukan kepala dan menggelengkannya. Aku terkejut dengan jawaban pamanku ini. Yaitu tentang Takdir yang ia bicarakan barusan.

Aku mulai berfikir bahwa semua manusia sudah mempunyai taqdirnya masing masing, itu lah yang kuyakini dari agamaku. Tapi aku sangat heran, mengapa semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan ilmu sebanyak banyaknya, dan juga berlomba untuk menjadi yang terbaik? bukankah taqdir itu sudah ditentukan? ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang sukses, dan ada yang gagal.
semua itu seakan telah menjadi realita hidup yang mutlak adanya. lalu, mengapa semua orang berkerja dengan keras setiap harinya?

“Rio, dimana yang lain?“ tanya paman memecah lamunanku. “ehh,, om dan tante sedang pergi mendatangi pengajian bulanan di masjid tulang. “ jawabku spontan. “kau tak ikut mereka?” tanya pamanku sambil berdiri melepas kemeja lusuhnya. “ enggak om, Rio baru pulang belajar pangkas rambut sama Bang Renal.”jawabku. “Belajar cukur kata kau? hahaha, tak habis fikir aku dengan impianmu yang bodoh itu.” ujar pamanku tertawa. “tulang, impianku ini bukan sembarang impian, ini adalah impan yang mungkin tak terbayangkan oleh semua orang. mungkin saja taqdirku lebih baik dari taqdir tulang yang seorang sarjana. hahaha ” kataku sambil tertawa. “apapun kau nanti, jadilah orang baik! dan jika kau sudah bersama impian kau, tetaplah kau peluk sifat baik.” kata pamanku sambil menepuk pundakku.

Dari situ aku belajar bahwa apapun yang sudah menjadi taqdir, tetaplah menjadi orang baik.
dan dari situ juga aku mulai malas akan belajar, karena kita ini hanya mengejar taqdir, lalu buat apa kita berbuat jika semua sudah ditaqdirkan?

 

!@#$%^&*()+_)(*&^%$#@
Libur semester telah berlalu, kini aku kembali kesekolah dengan pangkat baru. yaitu, kelas 3 SMA. pagi ini aku sarapan dengan bubur pedas buatan tanteku. namanya Tante Lia, beliau adalah istri dari adik ayahku, namanya Om Reko. merekalah yang menjadi pengganti orangtuaku sejak kecelakaan maut merengut nyawa orangtuaku.

“Tante, Rio berangkat dulu” kataku sambil mengecup tangan tanteku. “iya, hati-hati ya nak, belajar yang bener , jangan males malesan” jawabnya senyum. “iya, Assalamualaikum!” ujarku sambil melangkahkan kaki keluar rumah. dengan senyuman baru, aku berjalan menuju sekolah yang berjarak kurang lebih 300 meter dari rumahku.

“Kriiing,kriiiiiing!”

Suara bell sudah terdengar, segera aku berlari menuju sekolah agar tidak telat. aku lupa bahwa hari ini adalah hari senin, dan seperti biasanya masuk lebih awal. Tapi, mengapa kali ini lebih pagi dari biasanya?

Bersambung.

By Shalahuddin Umar

Shalahuddin Umar, santri angkatan ke-3 jenjang SMA, kelas 2 | Asal Tangerang, Banten

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *