Loading

Setelah banyak membaca, setelah banyak tahu segala hal, biasanya muncul rasa ingin menumpahkan seluruhnya lewat tulisan. “Bagaimana caranya? Saya kan belum menguasai teknis menulis?” Mungkin itu pertanyaan umum bagi teman-teman yang mau menulis tapi bingung gimana caranya. Pak Kuntowijoyo pernah ngasih bocoran, bahwa kalo pengen jadi penulis, mulailah menulis, menulis, dan menulis. Itu artinya, ya tuliskan saja apa yang kamu mau. Tuangkan saja apa yang ada dalam benakmu. Jangan perhatikan dulu EYD dan segala macam aturan menulis. Bukankah ketika kita kecil langsung bisa bicara, padahal tidak mengetahui aturan yang baik. Bagaimana cara bicara yang baik dan sopan. Itu membuktikan jangan melihat dulu aturan yang ada dalam tataaturan teknik penulisan. Jadi, tulislah sesukamu. Tapi harap diingat, jangan asal jor-joran aja nulis. Kalo kamu udah bisa, EYD tentu diperhatikan dong. Utamanya dalam penulisan huruf kapital dan tanda baca.

Mungkin bisa dicoba dengan bikin buku harian. Di buku itu, kamu bisa menulis apapun tentang perasaan hatimu. Tumpahkan seluruhnya. Entah sedih, kecewa, senang, gembira, juga tentang cinta. Satu kalimat atau dua kalimat saja sehari. Nggak perlu banyak-banyak. Dalam setahun, jadi banyak juga kan?

Banyak gadis jadi kesohor karena buku-buku harian mereka. Misalnya Kartini dari Jepara, dan Anne Frank di Amsterdam. Buku harian kedua gadis itu membuka mata dunia, bahwa hidup terlalu berharga untuk lewat dalam pikiran. Buku harian, sanggup merekam secara jujur perasaan penulisnya. Dengan menulis buku harian, kita bisa melatih kepekaan dalam menggunakan pilihan kata yang bisa kita tuliskan.

Coba deh, untuk menjadi penulis, mungkin resep ini bisa dicoba bagi para pemula. Nggak susah kok. Cukup beli buku harian yang kecil saja. Lalu, tiap hari kamu rajin mengisinya. Terutama hal yang sangat berkesan dalam hidup kamu di hari itu. Tuliskan saja apa adanya. Jangan perhatikan dulu EYD. Suatu saat nanti, jika kita sudah terbiasa menulis, akan kita dapatkan sendiri gimana cara menulis yang baik dan benar.

Waktu SMP dulu, saya juga punya buku harian. Memang malu kalo dibaca orang. Karena kadang-kadang saya menulis tentang pengalaman saya. Yang baik, maupun yang buruk. Waktu itu, saya memang nggak setiap hari menulis di buku harian. Kadang-kadang saja. Utamanya kejadian yang amat berkesan. Tapi, suatu saat ketika membuka-buka kembali buku tersebut kenangan bisa kita rangkai lagi. Bahkan bukan mustahil untuk menuliskannya dalam sebuah cerpen yang lebih baik dari yang ditulis di buku harian. Benar. Bermanfaat sekali, lho.

Jadi, jangan malu-malu untuk punya buku harian. Memang anak puteri yang rajin menumpakan perasaannya di buku harian, tapi anak putera juga ada lho. Mungkin salah satunya saya (he..he..he.. nggak nyombong lho..). Tapi parahnya, sejak bisa nulis, saya jadi jarang nulis buku harian lain. Sekarang malah nggak punya. Pengen juga sih aktif lagi menulis di buku harian, siapa tahu 1 atau 2 tahun ke depan bisa bikin cerita. Bagus juga ya?

Soalnya, kata Bang Eka Budianta, seorang penulis terkenal itu, menyebutkan bahwa menulis buku harian, bukan berarti bunuh diri. Justru dengan menulis, kita membangun kepribadian, mengasah keterampilan menulis dan melatih kepekaan kepada kata-kata. Yuk kita coba.

Salam,

O. Solihin

By osolihin

O. Solihin adalah Guru Mapel Menulis Dasar, Pengenalan Blog dan Website, Penulisan Skenario, serta Problem Anak Muda di Pesantren Media | Menulis beberapa buku remaja | Narasumber Program Voice of Islam | Blog pribadi: www.osolihin.net | Twitter: @osolihin | Instagram: @osolihin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *