Loading

Ini kisah tentang perjalanan hidupku

Dimana aku bertemu dengan sesosok pria penuh wibawa

Di persimpangan jalan aku menemuinya

Mengenalnya lebih jauh

Hingga ia layaknya ayah kandungku

Hari demi hari berganti

Tersadar, beliau mengajari ku banyak hal

Mengajariku bermetamorfosa

Dari remaja, menjadi dewasa

Memberikan pemahaman,

Bagaimana arti kehidupan yang sebenarnya

Teringat bagaimana pengajarannya

Disiplin! Keras! Tegas!

Tidak mengenal kata terlambat

Tidak mengenal kelalaian

Awalnya, di sini aku merasa terkekang

Seolah beliau sengaja mengekangku

                                                                                             Aku tak boleh begini

Aku tak boleh begitu

Aku tak boleh melakukan ini

Aku tak boleh melakukan itu

Seolah aku dipaksa untuk tidak boleh berbuat salah

Segalanya harus terlihat sempurna

Aku tidak bisa terus begini!

Satu kata pepatah yang senantiasa terucap darinya,

Bisa karena biasa. Biasa karena dipaksa.

Hampir setiap saat ia mengucapkannya

Aku bosan

Seolah kata-kata itu tak ada maknanya

Hanya ucapan biasa

Tahun berganti tahun

Kini aku sudah beranjak dewasa

Banyak hal yang kini ku pahami

Mengapa ia begitu menerapkan kedisiplinan dalam diri anak-anaknya

Mengapa ia begitu tegas dalam setiap harinya

Mengapa ia seolah mengekang hidupku

Kini, aku jauh lebih mengenalnya

Beliau adalah sosok yang sangat takut pada Allah

Beliau adalah sosok yang sangat takut pada Jahannam

Hingga beliau sangat takut membiarkan anak-anaknya

Terjerumus pada murka Allah

Bisa karena biasa. Bisa karena dipaksa.

Dan tenggelam pada lautan dosa dalam Jahannam

Kini, aku mengerti

Mengapa beliau selalu mengulang kata-kata itu

Bisa karena biasa. Biasa karena dipaksa.

Kini, aku paham

Kata-kata itu bukan kata-kata yang membosankan

Bukan kata-kata biasa

Ia punya makna yang luar biasa

Meski hanya sepenggal kata,

Bisa karena biasa. Biasa karena dipaksa.

Suatu hari,

Burung merpati datang padaku

Menghinggapi berita duka di atas telingaku

Mengisi ruas-ruas hatiku

Yang seolah menghantam jantungku

Membuat aku terpental jauh

Sakit sekali mendengarnya

Sebuah berita duka

Berita tentang kepergiannya

Pergi jauh dari sini

Kapan kah aku bisa kembali bertemu dengannya?

Kapan kah aku bisa mendengar suaranya?

Kapan kah aku bisa memandang wajahnya?

Ketika mengajariku menjadi kuat

Ketika mengajariku menjadi tegar

Ketika memarahiku ketika menangis, dan beliau berkata:

“Di luar sana, ada yang punya masalah lebih besar dari padamu

Dan ia tidak menangis”

Siapa yang memarahiku ketika tidak makan?

Ketika aku susah minum obat

Kapan kah aku bisa kembali mendengar tawanya?

Bercanda ria bersamanya?

Ketika problema hidup menempaku,

Beliau hadir menghibur

Menghapus segala duka lara yang bersarang di hati

Siapa lagi yang akan mengajakku mendalami pehaman Islam?

Mengenal sejarah peradaban Islam yang telah lama memudar

Kini,

Rindu lah yang menjadi saksinya

Rindu mendengar kata-kata emasnya

Bisa karena biasa. Biasa karena dipaksa.

Semoga Surga yang kelak akan menjawabnya.

(In memoriam Ustadz Umar Abdullah)

[Noviani Gendaga, santriwati Pesantren Media, kelas 3 SMA, angkatan ke-2]

By noviani

Noviani Gendaga | Santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, kelas 3 | Asal Samarinda, Kalimantan Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *