Loading

“Berhenti menangis!”

“Tidak! Sebelum kau berjanji tidak akan ke sana lagi!”

“Dasar perempuan paranoid. Aku tidak pernah ke sana. Tidak pernah sekali pun.”

“Pria pembohong!”

Plakk..

“Sialan!”

Prang…

Bocah itu membuka matanya dan terduduk dengan cepat. Keringat menetes di dahinya. Napasnya tersengal. Dengan rakus ia mereguk oksigen yang berputar di udara.

Perlahan kesadaran menderanya. Suara pertengkaran itu tak terdengar sama sekali. Tak ada teriakan, tamparan apalagi lemparan benda-benda pecah. Bermimpikah ia? Vin, gadis kecil berusia 10 tahun itu melempar kain selimutnya dan mulai menjejakkan kakinya ke lantai marmer yang dingin. Berjingkat ia menuju pintu dan membuka pintu kamar.

Astaga! Sunyi sekali. Tak ada jejak keributan dan pertengkaran. Yang ada hanya dingin dan hening yang mencekam. Kemana orangtuanya?

Dia menutup matanya, kemudian berteriak, “Apa yang sedang terjadi?”

Vin mengucek-ngucek matanya. Sambil merenung, ia menampar pipinya keras-keras. Ia pergi ke arah wastafel untuk membasuh muka. Dia menatap dirinya di depan kaca. Jantungnya berdegub sangat kencang. Itu bukan wajahnya.

Bayangan hitam itu menghilang seketika. Vin berlari sekitar ruangan untuk mencari bayangan itu. Dimana, aku tak menemukannya? Vin memandang ke sekelilingnya.

“Tadi itu apa?” Tiba-tiba terdengar nyanyian aneh di telinga Vin. Semakin lama nyanyian itu semakin jelas. Vin menutup telinganya dan mulai menjerit.

“Diam!!!” kata ayah Vin. Vin mulai menangis sesenggukan. Tiba-tiba kucing hitam melompat di antara ayah dan Vin. Mata Vin tertuju pada pisau yang berada di tangan ayah. Vin tegang. Pandangannya kosong. Vin diam dan melangkah mundur. Ayah Vin tersenyum tipis dan menancapkan pisau itu ke perut Vin. Dan seketika semua hening. “Kenapa ayah melakukan ini?” Darah merembes dari perutnya. Vin merasakan dinginnya es menjalari tubuhnya. “Jauhkan tangan kotormu darinya. Dasar kau lelaki bejat. Aku tidak seperti yang kau pikirkan.” Mommy Vin membeku. Pandangannya tertuju pada satu orang. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Matanya menangis.

Seketika Vin tersentak. Apakah aku bermimpi kembali?

Vin duduk termenung. Lalu berjalan ke arah wastafel lagi. Vin memperhatikan perutnya. Tak ada setetes darahpun di sana.

“Kau bingung? Kau mencarinya?” Suara tiba-tiba terdengar dari sudut ruangan. “Siapa di sana?”

#

“Vin, Vin bangun sholat tahajud! Kamu belum muroja’ahkan? Nanti berdiri loh.” Mommy berteriak dari luar kamar. Sementara Jones membuka pintu kamar Vin dan masuk.

Vin tegang. Merasakan hawa panas di sekeliling tubuhnya. “Adik kenapa main api?”

“Sebentar ya kak, aku ingin menyiramkan bensin ke badan kakak dulu. Jangan pergi ke mana-mana.” Jones, adik Vin tersenyum sinis.

“Kau bercanda?! Begitu caramu membangunkanku.” Vin menatap adiknya ngeri.

“Kau tahu aku berbeda dengan dirimu.”

“Ya, aku tahu,”

Vin berlari keluar dari kamarnya dan berteriak, “Mommy, Jones jahat!”

“Ha? Kenapa Vin? Kenapa? Jones kenapa?” Mommy menatapnya lembut. “Jangan-jangan kamu mimpi lagi”

“Mommy nggak percaya sama aku? Mommy jahat!” Vin berlari ke luar rumah.

Ketika membuka pintu, tiba-tiba Vin berada di tepi jurang. “Selamat datang di labirin mimpi. Mari selesaikan permainan ini, Vin. Hahahaha.”

Suara yang menggema terdengar di telinga Vin.

Vin menjatuhkan diri ke dalam jurang dalam dan gelap tersebut. Tak ada apapun di sana. Hanya bayangan masa lalu yang tergambar jelas di sekelilingnya. Itu sangat menghantuinya.

“Tidaaaak!”

Vin tersentak dan terbangun dari tidurnya dengan cepat. “Astaghfirullah. Aku lupa berdo’a.” Vin mengusap wajahnya dan berharap mimpi itu meninggalkannya. Dia segera beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk berwudhu. Selesai berwudhu, dia berjalan ke kamar Jones untuk memastikan apakah ini mimpi atau bukan.

Jantung Vin berdegub kencang, semoga ini halusinasi saja. Vin tersenyum. Ternyata adiknya masih terlelap di tempat tidurnya dengan wajahnya yang lugu. Senyum di wajah Vin seketika memudar. Matanya terbelalak menatap sesuatu dalam genggaman Jones. Jones menggenggam erat sebuah korek api, sementara sebotol bensin tergeletak di sisinya. Jantung Vin serasa ingin melompat keluar dari rongga dadanya ketika melihat kaki Jones tidak terpasung lagi.

Jones membuka matanya, tersenyum, lalu menoleh perlahan ke arah Vin. “Mau main api?”

[Penulis: Wita, Nissa, Ela, Putri, Mufiddah, Hanifa, Fathimah, Umar, Ogek.]

By Putri Aisyara

Saknah Reza Putri | Santriwati Pesantren MEDIA angkatan ke-2, kelas 3 SMP | Asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan | Twitter @PutriAisyara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *