Loading

“Arg..!” aku berlari. Meninggalkan Ibu dan kedua sahabatku dalam kebingungan.

“Aku benci Ibu!!” aku berteriak. Kubanting pintu rumah. Aku berlari. Tak tahu kemana kakiku akan membawa diriku yang penuh emosi.

Aku menyetop salah satu bus mini yang berhenti di hadapanku. Tak mempedulikan suara ibu yang sedari tadi berteriak memanggilku. Aku mengusap mataku perlahan. Ibu egois.

Bus yang ku tumpangi, terasa berjalan lambat. Kebisingan orang-orang di dalam bus kota ini, tak menghiraukan lamunan kekesalanku kepada Ibu. Aku benar-benar tak mengerti.

Seorang anak kecil naik dan duduk di sampingku. Ia membawa sehelai kertas yang digulung dan beberapa uang receh. Aku tidak bermaksud melihat kertas itu. Namun anak itu melihatku sedang memperhatikan kertas yang ia bawa.

“Oh, ini. Ini untuk Ibuku. Kakak mau lihat?” katanya tiba-tiba. Aku terkejut. Ia menyodorkan gulungan itu. Aku menerimanya. Ketika ku buka, terlihat gambar seorang Ibu dan anak sedang bergandengan tangan. Banyak gambar hiasan ulang tahun, balon-balo, serta bunga-bunga. Anak itu mewarnai gambarnya dengan rapi. Di tengah kertas tertulis,

Selamat Ulang Tahun, Ibu.. J

“Ibuku suka bunga.” Kata anak itu menunjk salah satu bunga. “Aku akan membeli setangkai bunga Mawar untuknya.” Katanya lagi memperlihatkan uang receh di tangannya. Aku tersenyum sambil mengembalikan kertas berisi gambar tadi kepadanya.

“Ibumu pasti senang.” Kataku. Anak itu tertawa.

“Oh, iya. Kenalkan, namaku Dinda. Nama Kakak pasti Salma.” Anak itu mangulurkan tangan. Aku heran. Ia tertawa sambil menunjukkan gelang nama di tanganku. Aku tersenyum.

Setelah lama kami berbincang, Dinda berpamitan. Dia akan turun untuk membeli bunga.

“Kak, aku duluan, ya.” Katanya manis. Aku mengangguk. Aku melihatnya turun menuju toko bunga. Ia membeli setangkai bunga mawar. Aku penasaran.  Seperti apa ibunya. Segera aku berjalan turun dari bus. Dari kejauhan, kulihat  ia berjalan ke arah sebuah pemakaman.  Aku terkejut..

Diam-diam aku berjalan mendekat. Aku mengikuti Dinda menyusuri makam-makam. Sampai di sebuah makam, Dinda berhenti. Ia menaruh kertas dan bunga yang ia beli tadi. Sebelum pergi dari makam itu, ia membaca do`a dan mencium nisan makam itu.

Aku tersentak. Dinda melihatku. Ia tersenyum manis.

“Ini ibuku. Ia meninggal ketika aku masih berumur setahun. Aku tidak ingat wajahnya. Aku juga tidak ingat suaranya. Tapi aku tahu ibu sangat menyayangiku.” Aku terdiam. Kupandangi makam itu. Walau hanya onggokkan tanah, makam itu sangat terawat. “Aku selalu ke sini setiap hari.” Dinda berbalik. Ia meninggalkanku. Tanpa menengok dan bicara, ia melambaikan tangan. Aku masih diam.

Aku berjalan pelan keluar dari makam itu. Ingin rasanya aku kembali kepada Ibu. Tapi aku takut. Aku masih tidak mengerti dengan perasaan ini.

Aku duduk lesu di kursi panjang dekat makam. Aku melirik sekelilingku. Balai Kota. Bathinku dalam hati. Ternyata aku pergi terlalu jauh dari rumah. Aku terus berpikir.

ooOoo

Aku tersentak. Kulihat ada pesan masuk di handphoneku. Nada?

Salma. Kamu mau pulang tidak? Sebentar lagi acara pemakaman akan dimulai.

ooOoo

Aku terbangun. Ternyata hanya mimpi. Dengan tergesa, aku melirik handphoneku. Tidak ada pesan. Aku menarik nafas panjang. Tiba-tiba, aku terpikir. Acara pemakaman? Aku terus berpikir. Apakah ada hubungannya semua ini?

Kantong jilbabku bergetar kencang. Kuraih handphone itu. Rumahku? Kenapa ada panggilan dari rumahku? Jangan-jangan..

Dengan bergetar, kutekan tombol sambungan.

“Halo. Assalamu `alaikum.” Salamku pelan. Terdengar suara helaan napas di seberang sana. Aku menahan napasku.

“Nit! Nit! Nit! Nit!”

Sambungannya terputus! Ada apa ini? Pikiran buruk mulai merasukiku. Segeraku setop bus ke arah rumahku. Bus berjalan lambat mencari penumpang. Aku semakin gelisah. Tak sabar, aku keluar dari bus itu. Berlari secepat yang aku bisa.

Aku terdiam. Sebuah mobil ambulance berlalu cepat melewatiku. Ambulance itu berasal dari arah rumahku. Ibu?! Kuraih handphoneku.

“Nomor yang anda tuju tidak menjawab.” Aku semakin gelisah. Keringat dingin mulai mengalir deras dibalik kerudungku. Aku kembali berlari. Kini menangis. Dalam benakku, aku berpikir,

Apa yang telah aku lakukan?! Kenapa aku membantah Ibuku? Rasanya tidak ada yang salah jika aku ikut sanlat. Aku bisa melewati kebersamaan dengan kedua sahabatku lain kali. Kenapa aku membuat Ibu sedih? Bathinku dalam hati.

ooOoo

Aku sampai di depan perumahan dengan napas tersengal-sengal. Terdapat bendera kuning terpasang di gerbang perumahan. Mataku terbelalak. Aku kembali berlari. Orang-orang melihatku aneh. Sampai di suatu jalan, aku melihat bendera kuning lagi. Aku menghela napas. Itu bukan jalan menuju rumahku.

Aku kembali berjalan pelan menuju rumahku. Orang-orang berlalu lalang melewatiku. Mereka menatapku iba. Aku kembali khawatir. Di ujung jalan, aku melihat Mbak Ninuk. Mbak Ninuk adalah penjaga warung nasi uduk langganan keluargaku. Mbak Ninuk mendekatiku.

“Neng Salma, sabar ya, neng. Semoga ruh Ibu tenang dalam genggaman-Nya..” Mbak Ninuk memegang pundakku. Aku tersentak.

“Ibu?!!” aku melepaskan tangan Mbak Ninuk. Aku berlari meninggalkan Mbak Ninuk yang terkejut dengan kejadian ini.

Di depan rumahku, telah berdiri sebuah tenda biru milik DKM Masjid dekat sini. Kakiku melemah. Aku berjalan pelan sambil menangis. Di ruang tamu, aku melihat jasad Ibu telah ditutup kain kafan. Aku semakin terpukul. Dengan rasa sakit masih menganjal di hatiku, aku berlari mengunci pintu kamar.

Di dalam kamar, aku meraung. Kututupkan wajahku dengan bantal kecilku. Aku kembali menangis. Orang-orang mengetuk pintu kamarku. Aku tak mau mempedulikan semua itu. Aku sedang bersedih. Aku ingin Ibuku.

“Kak, buka pintunya, kak.” Suara indah itu begitu terasa jelas di telingaku. Meski pun aku telah menutup rapat telingaku. Ibu?

ooOoo

Ibu yang dimaksud Mbak Ninuk ternyata adalah ibunya Ibu. Nenekku memang dipanggil ibu oleh Mbak Ninuk.

Aku dan ibu diam. Kami tak saling menatap. Aku takut untuk berbicara. Aku hanya diam memperhatikan jam dinding yang terasa bergerak lambat.

Aku berpaling. Ibu terlihat memunggungiku. Ia berdzikir pelan. Aku tak berani menyapa. Dalam hati, aku merasa bersalah. Aku semakin tertunduk.

Ibu beranjak berdiri. Ia menatapku dalam. Kemudian berpaling. Sambil membuka pintu, ia berbicara pelan.

“Kau sudah dewasa, kak.” Katanya bergetar. Aku mengerutkan dahi. Bingung. Namun, aku mulai mengerti.

ooOoo

Aku membuka mata. Nada dan Bilqis masih tertunduk. Aku juga diam. Bilqis melirik Nada. Nada mengengguk.

“Sal, kalau ibu kamu tidak memperbolehkan ikut. Tidak apa-apa, kok. Kami juga tidak keberatan.” Kata Bilqis pelan. Nada mengangguk.

“Kalau kamu mau, kita bisa kok ikut sanlat bersama.” Kata Nada menjelaskan. Mataku terbelalak terkejut. Mereka sungguh sahabat yang baik. Aku tersenyum.

“Aku sangat menyesal. Sedih rasanya membayangkan aku membentak Ibu tadi. Aku tidak mengerti. Andai aku bisa mengulang waktu.” Aku mulai menitikkan air mata. Nada dan Bilqis mencoba menghiburku.

“Sudah. Aku tahu Ibu Salma itu baik. Pasti dimaafkan.” Kata Nada. Balqis mengangguk. Aku diam.

“Aku takut. Aku tidak berani. Bagaimana jika aku menangis?” kataku menutup wajah dengan bantal kecil. Nada dan Balqis menatapku iba. Kami semua terdiam.

ooOoo

“Aku pergi.” Kataku memasang sepatu.

“Mau kemana?” Ayah menutup korannya.

“Ke taman. Assalamu ‘alaikum.” Kataku setelah Ayah mengangguk.

“Wa’alaikumussalam.” Ayah kembali membaca korannya.

Aku mengambil sepedaku. Tas kusimpan di keranjang sepeda. Dengan kecepatan sedang, aku mulai mengayuh sepeda. Pandanganku memang tertuju ke depan jalan. Tapi pikiranku kosong. Memikirkan semua kejanggalan yang baru terjadi kemarin.

Gerbang taman telah terlihat. Seperti biasa, taman sangat ramai pengunjungnya. Tapi aku dan kedua sahabatku tahu sebuah tempat yang paling nyaman untuk kami bertiga. Tidak terlalu jauh dari keramaian. Jadi tidak terlalu sepi, tapi tidak juga terlalu ramai.

Aku mengandarkan sepedaku di dekat pohon. Dengan cepat, aku memanjat dan duduk di atas sebuah dahan pohon tersebut. Sambil meluruskan kaki, aku menatap langit di antara dedaunan. Aku masih berpikir.

“Hai! Siapa itu di atas pohon?” aku terkejut. Di bawah pohon, seorang anak perempuan tengah menengadah ke atas pohon. Dinda? “Eh, itu Kak Salma, ya?” aku meloncat turun.

“Eh, Dinda. Kamu sedang apa di sini?” aku mengajak  Dinda duduk di bangku panjang.

“Oh. Tadi aku baru mengirimkan gorengan di kantin taman. Tadinya aku mau istirahat. Di bawah pohon. Tapi ternyata ada Kak Salma di atas.” Katanya menjelaskan. “Kak Salma sendiri lagi apa di atas sana?” katanya melanjutkan. Aku berpikir.

“Hmm.., Kakak tadi sedang berpikir.” Kataku asal.

“Oh. Tentang urusan orang dewasa, ya? Dinda tidak boleh tahu, ya?” katanya polos. Aku tersenyum. Tidak masalah, deh, kalau aku ceritakan kepada Dinda. Ucapku dalam hati.

“Bukan, kok. Hanya masalah kecil.” Kataku tersenyum dengan tatapan kosong.

“Hmm.. Kakak cerita aja. Siapa tahu Dinda bisa bantu. Dinda bisa jaga rahasia, deh.” Katanya lucu. Aku menatap mata Dinda. Anak itu begitu lucu. Kasihan ia sudah tidak memiliki Ibu.

“Oke, deh. Jadi, Kakak sedang ada masalah dengan Ibu Kakak. Kakak sudah mengerti apa kesalahan Kakak. Kakak ingin meminta maaf kepada beliau. Tapi Kakak malu. Bagaimana, ya?” kataku bercerita seadanya. Dinda serius mendengarkan. Tatapan matanya mengartikan bahwa ia ingin sekali membantuku.

“Kakak sudah mencoba meminta maaf dengan surat belum?” katanya mulai santai. Aku menggeleng. “Coba saja.” Katanya. Aku mengangguk.

“Terima kasih, ya.” Kataku mencoba tersenyum semanis mungkin. Ia juga tersenyum. “Hmm.. Dinda pulang kemana?” tanyaku mengalihkan perhatian.

“Ke rumah. Tidak jauh dari sini.” Katanya. Aku berniat mengantarnya pulang.

“Pulang bersama Kakak, yuk.” Kataku menunjuk sepedaku. Ia terlihat senang.

ooOoo

“Dinda, tinggal sendirian di sini?” kataku pelan. Aku takut ia merasa tersinggung. Namun, Dinda masih santai.

“Iya. Dulu, aku tinggal di perkampungan dekat sini. Kemudian, ayahku tiba-tiba menghilang dan tidak pernah kembali hingga sekarang. Tidak lama setelah ayah pergi, Ibuku meninggal. Lalu aku pergi ke tempat ini dan membuat rumah sendiri.” Katanya tanpa ada rasa sedih sedikit pun. Aku menatap sekeliling dengan rasa iba. Di dalam rumah kardus ini, hanya ada sebuah tas berisi pakaian dan tikar yang sudah lusuh. Tiba-tiba, handphoneku berdering. Ibu?

“Halo, Assalamu ‘alaikum..” kataku pelan. Terdengar helaan nafas di seberang sana.

Salma. Kamu di mana, Kak?” Suara Ibu terdengar tertahan. Aku diam.

“Ibu di mana?” aku berjalan pelan keluar rumah Dinda.

Ibu ada di taman, Kak. Ayah bilang, Kakak ke taman. Tapi sudah semua sudut taman kami telsuri, Kakak tetap tidak ada. Kakak di mana?” Kata Ibu mengulangi pertanyaannya.

“Kakak di sini, Bu!” Kataku berteriak begitu kutemui Ibu di sebuah sudut taman. Ayah dan Ibu menoleh.

“Kakak?!” aku berjalan pelan ke arah keduanya. Dengan cepat, Ibu memelukku. “Kak, Ibu menyayangimu.” Kata Ibu menangis.

“Kakak juga, bu. Kakak minta maaf.” Kataku mulai menitikkan air mata. Keharuan terjadi di antara kami bertiga. Bukan. Berempat. Dinda, kini telah menjadi saudariku.

10-03-2014

[Fathimah NJL, Kelas 2 SMA, Pesantren Media]

By Fathimah NJL

Santriwati Pesantren Media, angkatan ke-5 jenjang SMA. Sudah terdampar di dunia santri selama hampir 6 tahun. Moto : "Bahagia itu Kita yang Rasa" | Twitter: @FathimahNJL | Facebook: Fathimah Njl | Instagram: fathimahnjl

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *