Loading

“Aku benci Ibu!!” aku berteriak. Kubanting pintu rumah. Aku berlari. Tak tahu kemana kakiku akan membawa diriku yang penuh emosi.

Aku menyetop salah satu bus mini yang berhenti di hadapanku. Tak mempedulikan suara ibu yang sedari tadi berteriak memanggilku. Aku mengusap mataku perlahan. Ibu egois.

ooOoo

Jum`at, 14 Juni 2013

“Sal! Sini!” Nada memanggilku dari ujung kantin. Aku berlari menghampiri kedua sahabatku. Rupanya, mereka sudah menyiapkan bangku untukku.

“Ternyata kalian di sini. Aku sudah cari kemana-mana.” Aku tertawa. Nada dan Balqis ikut tertawa.

“Salma. Minggu depan jadi, kan?” Balqis menyodorkan Es Teh manis kepadaku. Aku menerimanya. Setelah meneguk satu teguk, aku menjawab.

“Jadi, dong.” Aku tersenyum.

“Kamu udah izin Ibumu?” Nada membenarkan letak kerudungnya.  Aku menggeleng. “Izin dulu, ya..” katanya lagi. Aku mengangkat kedua bahuku.

ooOoo

“Assalamu `alaikum.” Aku melepas sepatuku. Lama tak mendengar jawaban, aku membuka pintu rumah.

“Ibu!” aku berteriak menuju ruang makan. Aku mengambil gelas dan mengisinya dengan air.

“Wa`alaikumussalam!” terdengar suara Ibu dari arah dapur. Aku segera masuk ke kamarku. Di meja belajar, aku menemukan sebuah brosur.

Telah hadir!

Malam Bina Taqwa untuk perempuan. Di hadiri oleh Ustadzah Rahma Nabila.

Jum`at, 21 Juni 2013 – Ahad, 23 Juni 2013. Bertempat di Masjid Raya.

“Apa ini?” kataku setelah membaca brosur itu sekilas. Aku merebahkan diri di kasur kecilku. Dalam bayanganku, terbayang suasana senang ketika berkemah bersama kedua sahabatku.

“Salma! Ayo makan!” teriakan Ibu membuyarkan lamunan singkatku. Aku tersenyum.

“Ya, Bu..!” teriakku.

Aku keluar kamar. Ibu tersenyum dengan meja makan sudah rapi. Ibu memang terbaik dalam hal tata menata. Di meja makan, ada telur rebus, dan sayur kangkung. Masakan sederhana yang rasanya selangit bila Ibu yang memasak.

Aku berjalan perlahan menghampiri Ibu. Kucium pipi kanan Ibu. Ibu tersenyum masam.

“Kakak asem.” Ibu mengomentari. “Ibu sudah pernah bilang. Kalau pulang sekolah, langsung mandi. Minimal ganti baju.” Ibu memperhatikanku. Aku melihat bajuku. Ah, ya. Aku belum mengganti seragam.

“Makan dulu aja, Bu.” aku nyengir. Ibu mencolekku manja. Aku dan Ibu tertawa.

ooOoo

Senin, 17 Juni 2013

“Ting!” laptopku berbunyi. Aku masih di kamar mandi. Mendengar suara itu, aku bergegas menyelesaikan urusanku.

Aku berlari menuju pintu kamar mandi. Karena terburu-buru, aku tak melihat gelembung sabun di depan pintu.

“Bruk!” tak lama, “Auw..” aku terpeleset. Terdengar suara derap langkah mendekati kamar mandi.

“Kenapa, Kak?” suara Ibu terdengar khawatir. Aku meringis menahan sakit di pantatku.

“It’s nothing, Bu.” Aku berteriak membalas. Suara langkah kaki Ibu menjauh. Aku perlahan bangun. Dalam hati, aku mengutuki gelembung sabun yang sudah hilang.

Aku perlahan berjalan menuju kamarku sambil memegangi pantat. Aku duduk di depan meja komputer. Dua pesan masuk itu akhirnya membuatku kesal.

“Ternyata hanya ini pantatku jadi sakit begini. Huh!” aku menekan mouse dengan kasar. Satu pesan dari guruku, sisanya dari Balqis.

Dari : cutebalqis@hotmail.com

Buat : salmaniez@hotmail.com

Pesan : Sal, udah dapet izin dari Ibumu belum? Besok aku mau beli tenda sama mesen tempat buat kemah.

Balqis ternyata masih menanyakan perihal izin dari Ibuku. Sebenarnya, aku tidak berminat untuk menanyakan perizinan itu. Karena, Ibu selalu mengizinkanku pergi bersama kedua sahabat dekatku itu, Nada dan Balqis. Kami sudah bersahabat dari kecil.

Pesan Balqis, ku jawab dengan singkat. Belum. Besok aja ketika kamu ke rumahku. Aku teringat janji Balqis dan Nada yang akan bermain ke rumahku hari Rabu.

ooOoo

Selasa, 18 Juni 2013

Pagi ini, aku merasakan hawa panas yang mengalir di kakiku. Aku merasa tak nyaman. Akhirnya, kuputuskan untuk bangun dan pergi ke kamar mandi.

“Aaaah..!!” aku berteriak. Kupikir, teriakanku akan membangunkan seluruh isi rumahku. Dan benar. Derap langkah kaki terdengar mendekat ke arah kamar mandi.

“Kenapa, Kak?” suara Ayah jelas terdengar panik. Mendengar suara Ayah, aku kembali berteriak.

“Ayah jangan ke sini!” aku semakin berteriak. Ayah terdengar berlari. Aku membuka pintu kamar mandi. Dari dalam kamar mandi, aku melongokkan kepalaku.

“Bu, Kakak minta pembalut.” Aku berbisik kepada Ibu. Ibu tersenyum. Kemudian berjalan menuju kamarnya. Di dalam kamar mandi, aku tersenyum senang.

“Akhirnya..” aku menarik nafas panjang.

ooOoo

“Eh. Anak Ayah sudah dewasa, ya..” Ayah menggodaku begitu aku tiba di ruang makan. Aku tersipu malu. Kedua adikku, tertawa kecil di depan televisi. Mereka sepertinya baru membicarakanku tadi. Aku menatap galak keduanya.

“Aaa..!” Adik bungsuku, Sarah berteriak menghampiri Ibu. Si tampan Syarif semakin keras tertawa. Ibu menegur Syarif.

“Syarif, tidak baik tertawa terlalu keras.” Syarif langsung diam. Ia menutup mulutnya dengan tangan.

“Ya sudah. Ayo. Sekarang giliran Syarif yang memimpin do`a.” Kata Ayah. Syarif segera duduk di kursi samping Ayah.

“Bissmillahirrahmanirrahim. Allahumma baariklanaa fiimaa rozaqtanaa waqinaa `adzaabannaar. Amin.” Syarif membaca do`a fashih.

Kami makan dengan nikmat. Aku sering merasakan nyeri yang rasanya sangat di perut. Itu rasanya mendapatkan haidh, kata Ibu beberapa hari yang lalu.

“Kakak! Awas!” Sarah berteriak tiba-tiba. Syarif hendak mengambil sendokku. Ibu menepis tangan Syarif. Kami semua tertawa.

ooOoo

Rabu, 19 Juni 2013.

“Kak. Hari Jum`at, kakak ada acara?” Ibu bertanya ketika aku sedang membereskan lemariku. Aku diam. Aku melirik ke tempat sampah. Brosur itu masih ada. ibu keluar kamar.

“Aduh. Aku lupa. Aku belum izin Ibu.” Aku menepuk jidatku.

“Drrrt.. Drrrt..” nada pesan berbunyi. Aku mengambil handphoneku di atas kasur. Nada.

Sal, aku sama Balqis lagi di jalan. Kamu siap-siap, ya..

“Ah! Aku lupa. Aku belum menyiapkan sama sekali.” Aku berlari menuju ruang tamu. Sesampainya aku di ruang tamu, aku tertawa. Tak ada yang salah dengan ruangan itu. Aku berjalan kembali ke dalam kamar yang tak jauh dari ruang tamu.

ooOoo

“Ting tong!” suara bel rumah terdengar nyaring di telinga. Tak lama,

“Assalamu `alaikum..” suara manis khas anak perempuan. Nada dan Balqis.

“Wa’alaikumussalam..” Ibu membuka pintu rumah.

“Selamat siang, Tante.” Nada dan Balqis tersenyum. Nada dan Balqis terlihat cantik dengan jilbab mereka. “Salma ada, Tan?” Balqis mencium tangan Ibu. Kemudian diikuti Nada.

“Ada.” Ibu mundur beberapa langkah. “Silakan masuk.” Ibu mempersilakan kedua sahabatku masuk. Nada dan Balqis masuk.

Dari balik tembok, aku mengintip tiga orang insan kesayanganku. Namun, aku bukan orang yang pandai bersembunyi. Dengan cepat, Ibu memanggilku.

“Salma, ayo keluar. Sambil sembunyi-sembunyi.” Ibu tersenyum menang. Aku keluar dari tempat persembunyianku.

“Hehe..” aku meringis. Aku ikut duduk bersama kedua sahabatku. Ibu berdiri.

“Ibu mau ambil minuman dan kue dulu, ya.” Ibu berjalan menuju dapur.

“Sal. Kamu bilang, kamu mau minta izin sekarang.” Tiba-tiba, Balqis bertanya. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

“Iya, Sal. Kamu udah bilang belum?” Nada ikut bertanya.

“Belum, sih. Tapi biasanya Ibu membolehkan.” Aku menjawab ragu. “Udah, deh. Aku bilang, kok, setelah ini.” Kataku agak sebal. Aku sebal kepada kebingunganku. Nada dan Balqis bertatapan bingung.

“Lho. Kok semuanya diam.” Ibu datang membawa nampan berisi minuman jeruk dan beberapa biskuit. Kami terkejut. Aku melihat ke arah Nada dan Balqis. Mereka juga menatapku. Seperti hendak mengatakan sesuatu. Aku beralih ke Ibu.

“Ehm.. Bu. Sal, Sal, Salma mau ngo,ngomong.” Aku terbata-bata. Aneh. Tidak biasanya aku begini. Ibu mengernyitkan dahi heran. Ia menaruh nampan yang ia bawa ke atas meja. Ibu duduk di hadapanku.

“Mau ngomong apa?” aku terdiam. Menunduk. Kenapa ini? Kenapa aku jadi gugup seperti ini? Batinku dalam hati. “Kak?” Ibu membuyarkan rasa diamku.

“Ehm… Bu, Salma mau minta izin.” Aku memberanikan diri. Ku lihat Ibu menfokuskan pandangan ke arahku. “Salma mau..” ucapanku terpotong.

“Kami mau izin berkemah hari Sabtu.” Nada memotong kata-kataku. Sepertinya, ia sudah tidak sabar menungguku. Aku menatap kesal ke arah Nada. Nada meringis. Aku menatap Ibu. Ibu diam.

“Hari apa berkemahnya?” Ibu mulai berbicara dengan nada selidik. Aku tidak suka nada selidik Ibu. Menyeramkan.

“Insyaa Allah, berangkatnya hari Sabtu, pulangnya Ahad sore.” Balqis menjelaskan sambil menatapku. Ibu kembali diam. Kami semua diam.

“Tapi Salma mau Ibu ikutkan Sanlat hari Jum`at.” Ibu berbicara. Aku terkejut. Aku teringat brosur Sanlat yang ku temukan di kamar. Sama sepertiku, Nada dan Balqis juga terkejut.

“Tapi,” aku ingin berkomentar. Namun, aku tidak yakin dengan apa yang akan kuucapkan.

“Sal, kamu sudah dewasa. Ibu mulai berpikir keagamaanmu.” Ibu menambahkan.

“Tapi, Bu. Aku sudah mengerti semuanya. Menutup aurat, tidak berpacaran, menghindari hal-hal maksiat, dan lain sebagainya.” Aku membantah.

“Menuruti perintah Ibu adalah menghindari hal-hal yang maksiat.” Ibu mulai tegas. Aku semakin kesal dan bingung.

“Tapi, Bu,” aku ingin membantah lagi.

“Tidak ada tapi-tapian. Ibu tahu apa yang terbaik untukmu.” Ibu memotong pembicaraanku. Nada dan Balqis bertatapan bingung dengan pertengkaran antara aku dan Ibu. Aku semakin geram.

“Arg..!” aku berlari. Meninggalkan Ibu dan kedua sahabatku dalam kebingungan.

“Aku benci Ibu!!” aku berteriak. Kubanting pintu rumah. Aku berlari. Tak tahu kemana kakiku akan membawa diriku yang penuh emosi.

Aku menyetop salah satu bus mini yang berhenti di hadapanku. Tak mempedulikan suara ibu yang sedari tadi berteriak memanggilku. Aku mengusap mataku perlahan. Ibu egois.

Bus yang ku tumpangi, terasa berjalan lambat. Kebisingan orang-orang di dalam bus kota ini, tak menghiraukan lamunan kekesalanku kepada Ibu. Aku benar-benar tak mengerti.

Seorang anak kecil naik dan duduk di sampingku. Ia membawa sehelai kertas yang digulung dan beberapa uang receh. Aku tidak bermaksud melihat kertas itu. Namun anak itu melihatku sedang memperhatikan kertas yang ia bawa.

“Oh, ini. Ini untuk Ibuku. Kakak mau lihat?” katanya tiba-tiba. Aku terkejut. Ia menyodorkan gulungan itu. Aku menerimanya. Ketika ku buka, terlihat gambar seorang Ibu dan anak sedang bergandengan tangan. Banyak gambar hiasan ulang tahun, balon-balon, serta bunga-bunga. Anak itu mewarnai gambarnya dengan rapi. Di tengah kertas tertulis,

Selamat Ulang Tahun, Ibu.. 🙂

“Ibuku suka bunga.” Kata anak itu menunjuk salah satu bunga. “Aku akan membeli setangkai bunga Mawar untuknya.” Katanya lagi.

Bersambung..

03-03-2014

[Fathimah NJL, Kelas 2 SMA, Pesantren Media]

By Fathimah NJL

Santriwati Pesantren Media, angkatan ke-5 jenjang SMA. Sudah terdampar di dunia santri selama hampir 6 tahun. Moto : "Bahagia itu Kita yang Rasa" | Twitter: @FathimahNJL | Facebook: Fathimah Njl | Instagram: fathimahnjl

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *