Loading

Perjalanan Pembelajaran

Dalam seminggu banyak kegiatan yang dilakukan di luar PM. Diantara semua kegiatan itu, tidak ada yang terlalu spesial kecuali saat hari-h Idul Adha. Tapi bukan hari Idul Adha yang akan saya bahas sekarang. Ini hanya sebagian dari ketidak spesialan di hari biasa yang membuat saya mengingat hari ini.

Sejujurnya hari itu cuaca terlalu bagus. Matahari begitu terik, tapi saya tidak merasa kepanasan entah faktor udara atau angin. Di salah satu mall sedang mengadakan book fair, meski tidak sebesar book fair sebelumnya, saya menyadari itu, tapi terlalu memuaskan ketika melihat buku-buku bertumpuk di sekeliling.

Ketika masuk ke area book fair, melupakan ibu dan adik paling kecil, saya berjalan melewati petak-petak buku sambil melihat keberbagai sudut. Pengunjungnya lebih sedikit dari yang biasanya, itu cukup bagus karena tidak perlu berdesakan. Saya berhenti melangkah di depan rak buku yang tidak lebih tinggi dari saya, meniti tiap-tiap raknya dan berhenti di rak ketiga dari atas.

Yang dipikirkan saat itu? Entah, saya lupa, yang diingat adalah ketika mata saya membaca jelas judul buku itu hingga dua kali untuk meyakinkan. Itu buku biasa, bukan karya penulis besar Conan Doyle atau best seller seperti Tere Liye. Tapi untuk saya, itu benar-benar tidak biasa.

Saya mengambil buku berjudul Detektif Imai dan Kasus Ruangan Separuh Retak. Buku ini pertama kali terbit tahun dua ribu sebelas. Awal saya membeli buku ini kira-kira tiga tahun yang lalu di daerah Depok, seri keempatnya. Melihat buku itu mata saya langsung mencari dan menemukan buku seri kedua dan ketiganya. Itu benar-benar sangat membahagiakan.

Beberapa jam disana, setelah menemukan buku serial Detektif Imai hingga yang ketiga, saya menyerah untuk mencari yang kelima dan enam. Saya berjalan, menyusuri deretan rak-rak kearah kanan, sesekali melirik ke petak buku dibelakang, berharap ada buku lain yang menarik minat. Tapi tidak ada.

Saya merasa book fair kali itu benar-benar tidak seperti biasanya. Lebih sepi dan lebih sedikit buku. Berapa kalipun saya mencari, buku-buku yang menarik minat dan yang saya harapkan itu tidak ada. Setidaknya, awalnya begitu.

Saat saya menemukannya, itu sudah terlalu lama berlalu sejak saya menemukan serial Detektif Imai. Di petak paling ujung kiri di book fair, dekat dengan deretan rak buku masakan dan buku untuk anak, diantara timbunan buku-buku diatasnya, saya melihat covernya mencuat keluar. Hanya terlihat bagian bawah ujung cover yang membingkai merah berpola darah dengan background putih. Saya menariknya keluar dan kembali terlalu senang ketika nama Arsene Lupin saya baca dalam pikiran.

Arsene Lupin adalah seorang pencuri di daerah London Inggris sekitar tahun seribu delapan ratu delapan puluhan. Maurice Leblanc, penulis buku itu menjadikan Arsene Lupin sebagai musuh besar Sherlock menurut versinya. Saya sudah memasukkannya ke dalam list untuk dibeli, tapi menahannya setelah melihat tumpukan buku karya Dyah P. Rinni di tangan.

Meyakinkan diri akan bertemu Arsene dilain waktu, saya mengembalikan Arsene ke petaknya dan membeli serial Detektif Imai sebagai penggantinya.

Book fair itu hebat, dunia terasa di kelilingi buku saat itu, memang, tapi itu benar-benar tidak cukup. Maka, saya bersama adik dan ibu saya masuk ke toko buku di depan kasir book fair, dengan tujuan mencari buku pelajaran untuk adik.

Hal pertama yang dilakukan adalah diam menatap ke dalam dari luar toko buku sementara ibu dan adik saya sudah jauh di dalam sana. Saya memasuki toko buku, berjalan tanpa memikirkan lagi akan kemana, seolah kaki saya sudah mengetahuinya lebih dulu.

Saya berhenti di sebuah petak, melihatnya sekilas hanya untuk memastikan sampai dimana buku-buku terbaru terbit. Beberapa buku serial saya mengenalinya sekali melihat covernya. Beberapa judul saya kenal dan mengingat pernah membacanya di salah satu situs baca e-book gratis.

Saya berbelok kearah kiri, menuju rak besar dan tinggi berisi buku-buku sastra. Saya menyelidiknya singkat dengan melihat cover dan judulnya. Menyadari beberapa buku Tere Liye dengan cover baru, buku yang selalu ada di sana seperti Bulan Terbelah Dua di Langit Amerika. Saya mulai berjalan mendekat setelah melewati beberapa orang ketika melihat nama Chairul Anwar dan W.S. Rendra berjajar bersama buku lainnya disana.

Saya membaca sinopsis di belakang buku “Saya Binatang Jalang” dari Chairul Anwar yang isinya adalah puisi itu sendiri. Puisi itu mengingatkan saya dengan novel anak yang saya punya. Sayangnya, tak ada niat untuk membeli sejak masuk ke toko buku ini. Alasannya? Budget tidak mencukupi karena membeli serial Detektif Imai.

Mengikhlaskan dua karya penyair besar Indonesia, saya berjalan kearah kiri, kembali menyusuri rak buku itu sampai ujung, melihat kebawah kemudian atas. Ada dalam hati saya perasaan kesal saat tidak melihat satupun buku Sherlock Holmes atau karya-karyanya Agatha Cristie. Saya bahkan tidak menemukan buku fiksi Little Sherlock versi penulis lain di sana.

Mengabaikan rasa kesal tidak bertemu Sherlock, di saat terakhir saya melihat deretan komik yang sejajar dengan buku sastra, dan tersadar saya hampir melupakan hal penting lainnya. Meminta izin untuk ke sana, beralaskan cek komik Detektif Conan sampai dimana, saya berjalan terlalu cepat dan tanpa hambatan sampai disana.

Buku baru Detektif Conan episode 89 bertumpuk rapi disana. Saya membaliknya dan menemukan gambar kekasih Yumi di sana, membaca singkat sinopsisnya dan benar-benar terlalu gembira, melebihi saat menemukan Arsene ataupun serial Detektif Imai. Sinopsis itu mengatakan Conan mendapatkan daftar korban dari obat APTX yang diminumnya. Menahan diri untuk membacanya saat itu juga, saya, ibu dan adik saya keluar dari mall.

 

Saya berada di kamar, menghabiskan waktu membaca serial Detektif Imai ketika sore akan menjelang. Membaca buku pertamanya, dengan Agatha Cristie menyambut bersama “hanya sedikit diantara kita yang terlihat apa adanya”. Kasus di buku pertama terbilang kecil dibanding kasus-kasus selanjutnya, tapi pembawaan penulis yang ringan memudahkan mengerti alur cerita dengan baik.

Buku pertama tampak seperti Dyah P. Rinni yang asli, menurut saya, atau mungkin karena pengetahuan membaca misteri saya mentok di Conan Doyle ataupun Aoyama Gosho, entah apa, tapi buku kedua dan tiga benar-benar membuat saya merasa ‘itu keren’.

Buku kedua dengan judul Brownies yang Terluka mengingatkan saya dengan alur Detektif Conan Movie 5. Entah karena Dyah memang mematok alur anime itu, atau hanya kebetulan biasa. Alur cerita Dyah mengalir bersamaan dengan film Detektif Conan Movie 5 yang diputar di pikiran. Dan diakhir cerita dan film, yang selalu saya tidak suka, adalah tidak terkenalnya nama detektif yang menyelamatkan. Terkesan tidak adil, tapi cukup bagus untuk tidak terburu-buru. Dyah terlalu baik dalam hal menahan kerakusan untuk happy ending.

Buku ketiga adalah Teka-Teki Lukisan Berantai. Buku ini, berdasar pengetahuan sempit dari alur yang biasa dipakai Conan Doyle dan Gosho, tidak berdasar dari mereka. Di buku ini Dyah P. Rinni berani mengambil di luar tempat dengan terbang ke Yogya dan Belanda. Walau memang alurnya tidak berdasar, tapi di beberapa bagian seperti memecahkan kode, lagi-lagi berdasar pengetahuan sempit saya, mengingatkan terhadap pemecahan kode yang dilakukan Sherlock Holmes lewat film siries-nya yang diperankan oleh Benedict dan film movienya yang diperankan oleh Robert Downie Junior. Tentang angka, buku, dan kolom, tapi Dyah mengolahnya dengan lebih mudah, bukan dengan “karena buku ini umum digunakan” seperti penjelasan Sherlock.

Ketika saya selesai menyelesaikan ketiga buku itu, perenungan itu dimulai. Kesan memang baik dalam menulis, tapi membuat pembaca mudah memahami alur cerita bersamaan membuat mereka semakin tertarik untuk membaca adalah yang terpenting. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mewujudkannya? Cukup menikmati cerita yang akan dibuat, menikmati segala prosesnya, itu sudah cukup.

Kemudian saya bertanya pada diri, bagaimana dengan pemilihan diksi? Dan jawaban itu keluar terlalu lama. Ketika saya mengetik ini, jawaban itu keluar seperti paus yang menghirup oksigen untuk bernapas. Bukankah saya sudah menulisnya di tulisan “Si Tokoh dan Minat Pembaca”, bahwa setinggi apapun kata yang digunakan, jika kalimatnya tidak efektif atau berbelit-belit maka percuma. Jika kalimat yang digunakan tidak bisa dipahami pembaca, maka konflikpun tidak tersampaikan dengan baik.

Arthur Conan Doyle pun pencipta Hercule Poirot juga Maurice Leblanc adalah penulis dengan target yang memang dibidang misteri. Sementara Dyah P. Rinni tampaknya menjangkau orang-orang yang di bawahnya, yang memang tertarik untuk membca misteri bukan mendalaminya sekalian.

Dan ketika saya menulis ini, maka saya benar-benar menyadari dan memahami arti dari kalimat yang sebetulnya sering dikatakan oleh saudara juga ibu saya. Pembaca itu banyak jenisnya. Ada yang hanya membaca, mendalami alurnya, meniti hingga ke editor dan penerbitnya, atau bahkan mempelajarinya. Atau mungkin keseluruhannya.

Pertanyaan baru kemudian muncul, untuk siapa saya menulis, kepada siapa saya menulis? Apakah hanya pada pembaca, atau kepada yang mendalaminya pula? Jawabannya, adalah keseluruhannya. Karena saya ingin yang pembaca menikmati tulisan saya. Dan diam-diam memberi pelajaran berharga untuk mereka.

 

Hanya sampai sini saja saya menceritakannya, salah satu diantara banyak kejadian tidak spesial yang saya alami selama liburan Idul Adha. Bukan saat hari-h nya, tapi beberapa hari setelahnya. Ini memang tidak spesial, tapi ini pelajaran yang terlalu bagus untuk dilupakan. Pelajaran yang bahkan tidak bisa dipelajari kecuali dengan menemukannya sendiri. Mungkin kalian yang membaca ini tidak menemukannya sendiri, tapi temukanlah ketika membaca ini.

 

willyaaziza

[ZMardha]

tugas menulis

By Zadia Mardha

Santri Pesantren Media kunjungi lebih lanjut di IG: willyaaziza Penulis dan desainer grafis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *